Artikel ini ane copas dari blog sebelah dan ane share kembali mudah2an bisa jadi refernsi yang bermanfa'at..
HADITS-HADITS LEMAH DAN PALSU TENTANG RAMADHAN
Oleh: Ust. Achmad Dahlan, Lc, MA.
Al hamasah
(semangat) adalah penggerak utama seseorang dalam setiap aktifitas,
sehingga tanpanya, sebuah aktifitas akan terasa hambar, tanpa ruh, dan
terlihat dilakukan dengan terpaksa. Semangat adalah asset besar yang
harus dikelola, supaya tidak menjadi sia-sia dan tidak bermakna. Imam
Hasan Al banna ketika menyebutkan tonggak berhasilnya sebuah fikrah,
beliau menyebutkan 4 faktor utama yaitu: keyakinan yang teguh, keikhlasan dalam mengusungnya, semangat yang membara, dan kesiapan untuk berkorban demi terealisasikannya fikrah tersebut.
Akan tetapi dalam kontek ibadah (mahdhoh), semangat saja tidak cukup, bahkan justru bisa membawa celaka, jika tidak dibarengi dengan pengetahuan yang benar mengenainya.
Karena suatu ibadah tidak akan diterima kecuali jika sesuai dengan yang
dicontohkan oleh Rasulullah, bukan hasil kreatifitas akal manusia.
Tanpa ilmu, semangat akan membawa seseorang melenceng jauh dari jalan
Allah, membawanya mereka-reka bentuk ibadah baru, keyakinan-keyakinan ekstrim, serta berbagai jenis bid’ah yang dicela oleh Rasulullah dalam sabdanya:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم من حديث عائشة رضي الله عنها)
Artinya: “Barang siapa mengada-adakan perkara baru dalam agama, maka ia tertolak.” (HR Muslim).
Oleh
karena itu, seyogyanya semangat untuk beribadah selalu disinergikan
dengan pemahaman yang benar, sehingga menghasilkan ibadah yang
berkualitas.
Dalam
kaitannya dengan bulan Ramadhan yang mulia ini, terkadang kita
mendengar para penceramah menyebutkan fadhilah dan keutamaan Ramadhan
dengan penuh semangat, namun lupa meneliti derajat hadits yang menjadi
rujukannya. Seakan-akan, jika sudah berhasil membuat audien terinspirasi
untuk beribadah, mengobarkan azam serta menggugah hati dan jiwa mereka,
maka ceramah itu dianggap berhasil. Sang penceramah pun kemudian
menjadi populer sehingga kewalahan memenuhi banyaknya permintaan berceramah. Walaupun ini bukan fenomena baru dalam sejarah Islam, akan tetapi selalu terulang dari zaman ke zaman. Sejak era shahabat, sudah dikenal al-Qashshashun
(para ahli cerita) yang secara rutin memberikan mawaidh dan taujihat
ruhiyyah kepada kaum muslimin di masjid. Mereka mampu membuat orang
menangis, terharu, dan tergugah untuk beribadah. Karena khawatir
fenomena ini akan menjadi bid’ah baru, beberapa shahabat menasehati
mereka untuk tidak terlalu kerap melakukan aktifitas tersebut. Bahkan
dalam sebuah riwayat, Aisyah RA sampai membai’at Ibnu Abi As-Saib, salah
seorang pencerita di Madinah, untuk melakukan 3 hal: tidak bersajak
dalam do’a, memberikan mauidhoh sekali saja dalam seminggu, dan tidak
memotong pembicaraan orang yang berkumpul dalam majlis hanya untuk
mendengar cerita-ceritanya.[1]
Dalam
perkembangannya, bercerita di masjid menjadi profesi beberapa orang
yang lemah imannya, demi mendapatkan sesuap nasi. Akhirnya, mereka
berusaha dengan segala cara membuat ceramah menjadi berkesan. Maka
digunakanlah riwayat-riwayat lemah, kisah-kisah dari Taurat dan Injil
yang tidak dipastikan kesahihannya, bahkan dongeng-dongeng palsu dan
dusta. Lebih parah lagi, sebagian dari mereka justru mengarang
cerita-cerita dusta baru mengenai para Anbiya’ dan kisah kaum terdahulu. Ia kemudian menjadi kepercayaan dikalangan umat Islam selama berabad-abad
kemudian. Maka, kalau kita membaca buku-buku tafsir seperti tafsir
al-Alusi, tafsir al-Maraghi, At-tahrir wat Tanwir dll, kita akan
mendapati para pengarangnya mengingatkan kaum muslimin untuk menolak
kisah-kisah dusta karangan para al-Qashshashun tersebut.
Dalam
sebuah riwayat yang disebutkan Ja’far bin Muhammad At Thoyalisy, bahwa
suatu saat Imam Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Ma’in, dua orang imam
hadits pada zamannya, singgah di Masjid ar-Roshofah dalam perjalanan
mereka mengumpulkan hadits. Ketika itu, seorang pencerita berdiri seraya
berkata: Aku meriwayatkan dari Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Ma’in,
dari Abdur Rozaq, dari Ma’mar, dari Qotadah dari Anas bin Malik, bahwa
Rasulullah bersabda: Barang siapa mengucapkan La Ilaha Illallah, maka
akan diciptakan untuknya dari setiap kata yang diucapkannya seekor
burung, paruhnya dari emas, bulunya dari berlian....dst. Dia terus
melanjutkan membaca hadist sampai lebih dari dua puluh halaman. Merasa
tidak pernah meriwayatkan hadits-hadits tersebut, Imam Ahmad bin Hambal
dan Yahya bin Ma’in saling berpandangan. Imam Ahmad bertanya kepada
Yahya bin Ma’in: “Apakah kamu pernah meriwayatkan hadits itu?” Yahya
menjawab: “Bahkan aku belum pernah mendengarnya sebelum ini.” Mereka
berduapun menunggu sampai si pencerita selesai. Setelah selesai, Yahya
melambaikan tangannya untuk memanggilnya. Merasa akan mendapatkan imbalan,
si pencerita bergegas menuju kearah mereka. Yahyapun bertanya: “Dari
siapa kamu meriwayatkan hadits itu?” Ia menjawah: “Dari Ahmad bin Hambal
dan Yahya bin Ma’in.” Yahya berkata: “Aku Yahya bin Ma’in, dan ini
Ahmad bin Hambal, dan kami tidak pernah mendengar ada hadits seperti
itu. Kalau kau mau berdusta, pakailah nama orang lain, jangan memakai
nama kami.” Si pencerita segera berkata: “Apa betul engkau Yahya bin
Ma’in?” Yahya menjawab: “Ya”. Ia berkata: “Sudah lama aku kudengar Yahya
bin Ma’in adalah orang bodoh, dan baru sekarang aku membuktikannya.”
Yahya bertanya dengan penasaran: “Kenapa kau menganggapku bodoh?” Ia
menjawab: “Apa kau kira tidak ada Yahya bin Ma’in dan Ahmad bin Hambal
selain kalian berdua? Sesungguhnya aku telah meriwayatkan dari 17 orang
Ahmad bin Hambal selain orang ini.” Mendengar perkatannya, Imam Ahmad
dengan menutup wajahnya karena menahan tawa berkata: “Biarkan dia
pergi.”[2]
Pada kisah ini kita melihat, seorang pencerita rela berdusta untuk
memperoleh sedekah, dan bahkan ketika terbongkar kedoknya, dia semakin
memperpanjang dustanya dengan perkataan yang tidak masuk akal.
Sangat disayangkan bahwa banyak orang yang tidak sadar bahaya dusta dengan menisbahkan perkataan yang bukan sabda Rasulullah kepada beliau. Padahal, beliau sangat keras melarang berdusta, terlebih lagi dalam meriwayatkan hadits, dengan alasan dan motif apapun. Menyampaikan hadits
palsu dengan mengetahui bahwa ia palsu, termasuk dalam kategori dusta
kepada Rasulullah, yang ancamannya adalah neraka. Rasulullah bersabda:
مَنْ
حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ
الْكَاذِبِينَ (رواه مسلم، والترمذي وابن ماجه، وأحمد، وابن حبان،
والطبراني)
Artinya: “Barang siapa meriwayatkan hadits yang ia tahu bahwa hadits itu palsu, maka ia adalah salah satu dari 2 pendusta.” ( HR. Muslim, at Turmudzi, Ibnu, Majah, Ahmad, Ibnu Hibban, dan Thabrani)
Rasulullah juga bersabda:
إِنَّ
كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ (رواه الجماعة)
Artinya: “Berdusta atas namaku, tidak sama dengan dusta yang lain. Barang siapa melakukannya, hendaklah ia bersiap-siap mendapatkan tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari, Muslim dll)
Dalam hadits yang lain, Rasulullah juga bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ (رواه مسلم، وأبو داود، والحاكم وغيرهم)
Artinya: “Cukup bagi seseorang dianggap berdusta, apabila dia menceritakan semua yang pernah ia dengar.” (HR Muslim, Abu Dawud, Al Hakim dll).
Demikianlah
ancaman yang sangat berat bagi orang yang secara sembrono mengumbar
hadits, tanpa meneliti kesahihannya. Perlu digaris bawahi disini, bahwa larangan diatas hanya relefan untuk periwayatan hadits palsu, bukan hadits yang lemah (Dhaif).
Hadits palsu berarti ungkapan buatan orang yang dinisbahkan kepada
Rasulullah. Penyebutan hadits untuk hadits palsu sendiri dikritik oleh
beberapa ulama, karena pada hakikatnya perkataan tersebut bukan sabda Rasulullah.
Sedangkan hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi salah satu syarat dari hadits sohih yaitu: bersambungnya sanad,[3] periwayatan seorang yang tsiqoh (‘adil[4] dan dhobith[5]) dari orang yang tsiqoh, tidak syadz[6] dan tidak ada ‘illah[7].
Dalam hal ini, terdapat kemungkinan bahwa hadits dha’if betul-betul
sabda Rasulullah, atau sabda beliau yang diriwayatkan dalam bentuk yang
salah karena kesalahan orang yang meriwayatkannya. Artinya, walaupun
secara zahir hadits dha’if ditolak karena tidak memenuhi syarat yang
dirumuskan para ahli hadits, akan tetapi pada hakikatnya, ada
kemungkinan –walaupun kurang dari 50 persen- bahwa ucapan tersebut
betul-betul sabda Rasulullah SAW. Berbeda dengan hadits palsu yang
dipastikan bukan ucapan Rasulullah, melainkan karangan manusia biasa yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW.
Secara global, hadits dhaif dibagi menjadi dua, yaitu: Dhaif Yanjabir (lemah tapi bisa dikuatkan hadits lain sehingga terangkat derajatnya) dan Dhaif La Yanjabir (lemah dan tidak bisa diangkat derajatnya karena kondisi perawinya dll).
Hukum beramal dengan hadits dha’if
Permasalahan
tentang boleh tidaknya mengamalkan hadits dhaif, merupakan masalah
klasik yang telah menjadi topik perdebatan sejak dahulu. Sampai saat
ini, tidak ada kesepakatan yang bulat mengenainya. Baik kelompok yang
membolehkan mengamalkan hadits dhaif secara umum, ataupun yang
melarangnya, masing-masing mempunyai hujjah dan alasannya. Ada juga
kelompok pertengahan yang membolehkan dengan syarat-syarat tertentu.
Walaupun demikian, ada beberapa masalah yang disepakati oleh para ulama berkenaan dengan mengamalkan hadits dha’if, yaitu:
1. Tidak boleh mengamalkan hadits dha’if dalam masalah aqidah, ibadah-ibadah yang ushul (utama) ataupun muamalat.
2.
Tidak boleh menggunakan hadits dha’if untuk menetapkan suatu hukum
amali (hukum yang berkaitan dengan amalan) yang terkenal, misalnya:
sholat, puasa, haji dll.
3. Tidak boleh mengamalkan hadits dha’if yang sangat lemah (dha’if la yanjabir) dan hadits palsu secara mutlak, baik dalam masalah aqidah, hukum, ibadah, fadhail a’mal dll.
Secara ringkas, perbedaan pendapat mengenai hukum mengamalkan hadits dhaif dapat dipaparkan sebagai berikut:
1.
Sebagian ulama berpendapat bahwa mengamalkan hadits dha’if dengan semua
jenisnya (baik yang tidak terlalu lemah ataupun yang sangat lemah)
adalah haram. Diantara hujjah mereka adalah bahwa hadits shahih dan
hasan sudah mencukupi untuk menjadi rujukan dalam semua permasalahan
manusia, sehingga menjadi sesuatu yang sia-sia menggunakan hadits dha’if
yang secar zahir bukan sabdaNabi Muhammad SAW. Ini adalah pendapat Imam
Ibnu Hazm, Ibnu Ma’in, Syekh Ahmad Syakir, dan Syekh al-Albani.
2.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits dha’if bisa dijadikan hujjah,
terutama dalam masalah yang tidak ditemukan hadist shahih, karena
menurut mereka hadits dha’if lebih baik daripada analogi dan pendapat
manusia. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, Abu Dawud, Ibnu Mahdi, Ibnul Mubarok
dll. Dan kalau kita melihat buku-buku fiqh ulama terdahulu, maka akan
kita dapati banyak dari mereka yang menggunakan hadits dha’if sebagai
dalil, terutama dalam kondisi tersebut. Imam Ahmad berkata: “Hadits
dha’if lebih aku sukai daripada pendapat manusia, karena qiyas tidak
dipakai kecuali dalam kondisi tidak adanya nash (dalil dari qu’ran atau
hadits).”
3. Pendapat ketiga memberikan syarat-syarat dibolehkannya beramal dengan hadits dha’if sebagai berikut:
a. Hanya boleh diamalkan dalam masalah fadhail a’mal (keutamaan amal-amal ibadah), bukan masalah aqidah, ibadah, dan halal-haram.
b. Hadits dha’if tersebut bukan kategori sangat lemah (dha’if dha’fan syadidan atau Dha’if al yanjabir).
Maka hadits-hadits yang diriwayatkan oleh perawi pendusta, atau yang
dituduh berdusta, atau yang selalu salah dalam meriwayatkan hadits tidak
boleh diamalkan.
c. Hadits tersebut berisi hukum yang sudah ditetapkan dengan dalil yang shahih.
d. Ketika mengamalkan hadits tersebut tidak berkeyakinan bahwa bahwa ia adalah sabda Nabi Muhammad SAW.
Ini adalah syarat-syarat yang disebutkan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar, dan disetujui oleh beberapa ulama seperti Imam Suyuthi dll. Bahkan dalam kitab Fathul Mughits dikatakan bahwa pendapat ini menjadi pendapat jumhur ulama.
Beberapa hadits palsu dan dha’if tentang Ramadhan
Berikut
ini adalah beberapa hadits palsu dan lemah yang berkaitan dengan bulan
ramadhan. Perlu disampaikan disini, bahwa tujuan dari mengetahui
hadits-hadits ini adalah supaya kita berhati-hati dan tidak
mengamalkannya, terutama hadits-hadits palsu. Sebagaimana ucapan seorang
penyair:
عَرَفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ لَكِنْ لِتَوَقِّيهِ ... وَمَنْ لاَ يَعْرِفِ الشَّرَّ مِنَ النَّاسِ يَقَعْ فيهِ
“Aku
mengetahui keburukan bukan untuk mengamalkannya tapi agar tidak
terperosok kedalamnya ... Karena orang yang tidak mengetahui keburukan
akan jatuh kedalamnya.”
Perlu
diketahui juga bahwa yang disebutkan di bawah ini tidak mencakup semua
hadits palsu dan dha’if tentang Ramadhan, karena masih banyak
hadits-hadits lain yang bisa ditemukan dalam kitab-kitab yang membahas
secara masalah tersebut seperti: Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah karangan Syekh al-Albani, al-Maudhu’at karangan Ibnu al-Jauzi, al-Manar al-Munif karangan Ibnu al-Qayyim, al-La’ali’ al-Mashnu’ah karangan Imam Suyuthi dll.
Hadits palsu tentang Ramadhan
1. Hadits pertama
إِنَّ الله لَيْسَ بِتَارِكِ أَحَدًا مِنَ المُسْلِمْينَ صَبِيْحَةَ أَوَّلِ يَوْمٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ إِلاَّ غَفَرَ لَهُ
Artinya: “Allah mengampuni semua kaum muslimin pada hari pertama ramadhan tanpa seorangpun terkecuali.”
Hadits ini palsu karena dalam sanadnya terdapat Salam ath-Thowil yang dituduh memalsukan hadits. Gurunya (perawi sebelumnya) yaitu Ziyad bin Maimun juga seorang pemalsu hadits dengan pengakuannya sendiri .(Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 1/465)
2. Hadits kedua
إِذَا
كاَنَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ نَظَرَ اللهُ عزّ وَجَلّ
إِلَى خَلْقِهِ، وَإِذَا نَظَرَ اللهُ عز وجل إِلَى عَبْدِهِ لَمْ
يُعَذِّبْهُ أَبَدًا، وَلِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِى كُلِّ لَيْلَةٍ أَلْفُ
أَلْفِ عَتِيقٍ مِنَ النَّارِ
Artinya: “Pada
malam pertama bulan Ramadhan, Allah melihat makhluk-makhluk-Nya, dan
apabila Allah melihat hamba-Nya, maka Ia tidak akan menyiksanya. Dan
Allah membebaskan satu juta orang dari api neraka setiap malam.”
Hadits
ini palsu karena kebanyakan perawinya tidak dikenal, dan dalam sanadnya
ada Utsman bin Abdullah, seorang pemalsu hadits. (Silsilah
al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 1/470, al-Mudhu’at, Ibnul Jauzi:
2/190, al-La’ali’ al-Mashnu’ah, as-Suyuthi: 2/100-101)
3. Hadits ketiga
أَلاَ
أُخْبِرُكُم بِأَفْضَلِ الْمَلاَئكةِ جِبْرِيلُ عليه السلام، وَأَفْضَلُ
النَّبِيِّينَ آدَمُ، وَأَفْضَلُ الأيَّامِ يَوْمُ الجُمُعَةِ، وَأَفْضَلُ
الشُّهُورَ شَهْرُ رمضان، وَأَفْضَلُ الّليَالِي لَيْلَةُ القَدَر،
وَأَفْضَلُ النِّسَاءِ مَرْيَم بِنْتِ عِمْرَان " .
Artinya: “Maukah
kalian aku beritahu? Malaikat paling mulia adalah Jibril, nabi paling
mulia adalah Adam, hari paling mulia adalah Jum’at, bulan paling mulia
adalah Ramadhan, malam paling mulia adalah Lailatul Qadar, dan wanita
paling mulia adalah Maryam binti Imran.”
Hadits ini palsu karena dalam sanadnya ada Nafi’ Abu Hurmuz yang menurut Ibnu Ma’in ia adalah seorang pendusta. (Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 1/638)
Dari
sisi kandungannya, hadits ini juga bertentangan dengan hadits shahih
yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul yang paling
mulia.
4. Hadits keempat
مِنِ اعْتَكَفَ عَشْرًا فِي رَمَضَان كَانَ كَحَجَّتَيْنِ وَعُمْرَتَيْن
Artinya: “Barang
siapa beri’tikaf selama sepuluh hari pada bulan ramadhan maka
seakan-akan ia telah melakukan 2 kali haji dan 2 kali umrah.”
Hadits
ini palsu karena dalam sanadnya ada ‘Ambasah bin Abdurrahmah, yang
menurut Abu Hatim dan adz-Dzahabi ia seorang pemalsu hadits. Ibnu Hibban
berkata: “Ambasah mempunyai riwayat-riwayat palsu dan yang tidak ada
sumbernya.” (Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 2/10)
5. Hadits kelima
كَانَ يُصَلِّي فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي غَيْرِ جَمَاعَةٍ بِعِشْرِينِ رَكْعَةً وَالْوِتْرِ
Artinya: “Bahwa Rasulullah SAW pada bulan Ramadhan solat bersendirian (tidak berjamaah) sebanyak 20 rakaat dilanjutkan dengan witir.”
Dalam
sanad hadits ini terdapat Abu Syaibah, tidak ada yang meriwayatkan
hadits ini dari gurunya selain darinya. Menurut al-Baihaqi, al-Haitsami,
Ibnu Hajar dll ia adalah seorang perawi yang lemah haditsnya. Sedangkan
Syekh al-Albani menganggap hadits ini palsu dengan alasan:
1.
Karena bertentangan dengan hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim bahwa Nabi Muhammad tidak pernah shalat malam lebih dari 11
rakaat baik pada bulan Ramadhan ataupun diluar Ramadhan.”
2. Abu Syaibah menurut beberapa ahli hadits dianggap sebagai pendusta, seperti Syu’bah dan Imam Bukhari.
3. Hadits tersebut menerangkan bahwa Nabi Muhammad shalat bersendirian, dan ini bertentangan dengan hadits shahih riwayat Jabir yang mengatakan Nabi shalat taraweh tiga hari dengan berjama’ah. (Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 2/35)
Namun
perlu diketahui bahwa ulama yang berpendapat shalat taraweh 20 raka’at
tidak menggunakan hadits ini sebagai dalil, akan tetapi menggunakan
dalil-dalil yang lain yang tidak mungkin penulis paparkan semuanya
disini. Secara ringkasnya mengenai shalat taraweh, ada pendapat yang
mengatakan tidak boleh lebih dari 11 rakaat, dan ada pendapat yang
membolehkan lebih dari 11 raka’at, dan semua mempunyai dalilnya
masing-masing. Oleh
karena itu, tidak sepantasnya membid’ahkan salah satu dari pendapat
tersebut, padahal keduanya merupakan pendapat para shahabat dan
imam-imam terdahulu.
6. Hadits keenam
مَنْ
أَفْطَرَ يَوْمًا في شَهْرِ رَمَضَان فيِ الْحَضَرِ فَلْيَهْدِ بَدَنَةً،
فَإِنْ لمَ يَجِدْ فَلْيُطْعِمْ ثَلاَثِينَ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ
الْمَسَاكِيْن
Artinya: “Barang
siapa yang berbuka (membatalkan puasanya) pada bulan Ramadhan sedangkan
ia mukim, maka hendaklah berkurban dengan unta, apabila ia tidak mampu
hendaklah ia memberi makan 30 orang miskin dengan satu sha’ kurma.”
Dalam sanad hadits ini terdapat Harits bin Ubaidah al-Kala’i, ia adalah seorang pendusta. (Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 2/88, al-Mudhu’at, Ibnul Jauzi: 2/196, al-La’ali’ al-Mashnu’ah, as-Suyuthi: 2/106)
7. Hadits ketujuh
مَنْ
أَدْرَكَ رَمَضَانَ بِمَكَّةَ فَصَامَ وَقَامَ مِنْهُ مَا تَيَسَّرَ لَهُ،
كَتَبَ اللهُ لَهُ مِائَةَ أَلْفِ شَهْرِ رَمَضَانَ فِيْمَا سِوَاهَا،
وَكَتَبَ الله لَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ عِتْقَ رَقَبَةٍ، وَكُلِّ لَيْلَةٍ
عِتْقَ رَقَبَةٍ، وَكُلِّ يَوْمٍ حَمْلاَنَ فَرَسٍ في سَبِيلِ الله، وَفِي
كُلِّ يَومٍ حَسَنَةً، وَفِي كُلِّ لَيْلةٍ حَسَنَةً .
Artinya: “Barang
siapa berpuasa Ramadhan di Makkah, dan melakukan qiyam Ramadhan sebatas
kemampuannya, maka Allah menulis baginya pahala seratus ribu puasa
Ramadhan selain di Makkah, dan Allah menulis baginya pahala memerdekan
budak setiap hari, dan setiap malam. Dan menulis baginya pahala
menyiapkan kuda perang untuk berjihad di jalan Allah, dan menulis
baginya satu kebaikan setiap hari dan setiap malam.”
Dalam
sanad hadits ini terdapat Abdurrahim bin Zaid al-‘Ammi. Ibnu Ma’in
berkata tentangnya: “Pendusta yang keji.” Ibnu Hibban berkata: “Ia
meriwayatkan dari ayahnya hadits-hadits aneh yang tidak diragukan lagi
oleh ahli hadits bahwa ia adalah palsu atau bercampur satu hadits dengan
hadits lain. (Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 2/232)
8. Hadits kedelapan
أَتَدْرُونَ
لِمَ سُمِّيَ شَعْبَان؟ لأَِنَّهُ يَشْعُبُ فِيهِ خَيْرٌ كَثِيرٌ .
وَإِنَّمَا سُمِّيَ رَمَضَان؛ لأَِنَّهُ يَرْمِضُ الذُّنُوبَ.
Artinya: “Tahukah
kalian mengapa disebut bulan Sya’ban? Karena didalamnya terdapat
kebaikan yang sangat banyak. Tahukah kalian mengapa disebut bulan
Ramadhan? Karena ia melelehkan dosa dengan panasnya.”
Hadits
ini palsu karena didalam sanadnya terdapat Ziyad bin Maimun
ats-Tsaqafi. Yazid bin Harun berkata tentangnya: “Ia seorang pendusta.”.
(Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 7/209)
Hadits dha’if tentang Ramadhan
1. Hadits pertama
صَائِمُ رَمَضَانَ فِى السَّفَرِ كَالْمُفْطِرِ فِى الْحَضَرِ
Artinya: “Orang yang berpuasa dalam perjalanan seperti orang yang tidak puasa ketika mukim.”
Hadits ini lemah dengan 2 sebab:
1.
Sanadnya terputus, karena Abu Salamah bin Abdurrahman tidak mendengar
hadits ini dari perawi sebelumnya yaitu ayahnya, seperti disebutkan
al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.
2.
Usamah bin Zaid (bukan Usamah shahabat Nabi) lemah hafalannya, dan
riwayatnya bertentangan dengan perawi yang tsiqoh yaitu Ibnu Abi Dzi’b
yang meriwayatkan hadits ini sebagai ucapan Abdurrahman bin Auf, bukan
sabda Rasulullah SAW. (Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 1/713)
Ini
berarti, ungkapan diatas sebenarnya bukanlah sabda Rasulullah SAW, akan
tetapi ucapan seorang shahabat yaitu Abdurrahman bin Auf.
2. Hadits kedua
رَمَضَانُ
بِالْمَدِيْنَةِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ رَمَضَانَ فِيْمَا سِوَاهَا مِنَ
الْبُلْدَان، وَجُمْعَةٌ بِالْمَدِيْنَةِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ جُمْعَةٍ
فِيْمَا سِوَاهَا مِنَ الْبُلْدَانِ
Artinya: “Ramadhan
di Madinah lebih baik dari seribu Ramadhan di negeri-negeri lain, dan
shalat Jum’at di Madinah lebih baik dari seribu kali shalat Jum’at di
negeri-negeri lain.”
Hadits ini lemah karena dalam sanadnya terdapat perawi yang Majhul
(tidak diketahui) yaitu Abdullah bin Katsir bin Ja’far. Adz-Dzahabi
berkata: “Tidak diketahui siapa dia, ini adalah sanad yang batil.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar juga mendukung pendapat adz-Dzahabi dalam kitabnya
Lisan al-Mizan. (Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 2/230)
Tidak
disangkal bahwa ibadah di Madinah lebih baik daripada ibadah ditempat
lain, karena kekhususan Madinah sebagai Tanah Haram berkat do’a Nabi
Muhammad, juga dengan adanya Masjid Nabawi yang shalat didalamnya
dilebihkan seribu kali pahala dari shalat di masjid lain, kecuali di
Masjidil Haram dan Masjidil Aqsho. Akan tetapi, bahwa puasa Ramadhan dan
shalat Jum’at di Madinah dilebihkan pahalanya seribu kali, tidak
disebut dalam hadits-hadits shahih.
3. Hadits ketiga
لاَ بَأْسَ بِقَضَاءِ شَهْرِ رَمَضَانَ مُفَرَّقًا
Artinya: “Mengqodho’ puasa Ramadhan boleh dilakukan secara terpisah (tidak berurutan).”
Hadits ini lemah karena dalam sanadnya terdapat Yahya bin Sulaim ath-Thaifi yang buruk hafalannya. (Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 2/136)
Walaupun
hadits ini lemah, akan tetapi maknanya benar, yaitu bahwa menqodho’
Ramadhan tidak disyaratkan berurutan menurut pendapat sebagian besar
ulama’, sesuai dengan firman Allah ta’ala: “Maka hendaklah ia menqodhonya pada hari-hari yang lain.” (Al Baqarah: 184). Ayat ini hanya menunjukkan kewajiban mengganti puasa, dan bukan kewajiban mengganti puasa dengan berurutuan.
Diantara
ulama yang mensyaratkan harus berurutan adalah al-Hasan al-Bashri dan
Dawud adz-Dhahiri, berdasarkan riwayat Aisyah, bahwa ia berkata: “Telah
turun ayat: “Maka hendaklah ia menqodhonya pada hari-hari yang lain secara berurutan.”, akan tetapi kemudian kata: berurutan tidak dicantumkan.” (al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, Wahbah az-Zuhaily: 2/680)
4. Hadits keempat
مَنْ
أَدْرَكَ رَمَضَانَ، وَعَلَيْهِ مِنْ رَمَضَانَ شَيْءٌ لَمْ يَقْضِهِ،
لَمْ يُتَقَبَّلْ مِنْهُ، وَمَنْ صَامَ تَطَوُّعًا وَعَلَيْهِ مِنْ
رَمَضَانَ شَيْءٌ لَمْ يَقْضِهِ، فَإِنَّهُ لاَ يُتَقَبَّلُ مِنْه حَتَّى
يَصُومَهُ
Artinya: “Barang
siapa berpuasa Ramadhan, dan dia masih mempunyai hutang puasa Ramadhan
tahun sebelumnya yang belum diqodho’, maka puasanya tidak diterima. Dan
barang siapa puasa sunnah, sedangkan dia masih mempunyai hutang puasa
Ramadhan yang belum diqodho’ maka puasanya tidak diterima.
Hadits ini lemah karena dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Lahi’ah, seorang rawi yang terkenal buruk hafalannya. Illah yang lain adalah sanad dan matannya Mudhtharib (diriwayatkan dalam bentuk berbeda-beda atau saling bertentangan) (Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 2/235)
Mengenai
masalah qodho’ puasa Ramadhan, madzhab Syafi’i berpendapat wajib
hukumnya bersegera mengqodho’ puasa apabila ia membatalkan puasanya
bukan karena uzur syar’i, dan makruh baginya berpuasa sunnah. Apabila
sampai Ramadhan selanjutnya ia masih mempunyai hutang puasa, maka Jumhur
ulama mengatakan bahwa setelah bulan Ramadhan tersebut dia harus
menqodho’ hutang puasanya, ditambah dengan membayar fidyah. Sedangkan
madzhab Hanafi berpendapat, ia wajib menqodho’ puasanya saja tanpa
membayar fidyah.(al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, Wahbah az-Zuhaily: 2/679)
5. Hadits kelima
أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّار
Artinya: “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah pengampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.”
Walaupun
hadits ini sangat masyhur dan sering disampaikan dalam berbagai
ceramah, akan tetapi ada beberapa sebab yang membuat hadits ini lemah:
1.
Hadits ini diriwayatkan melalui Imam az-Zuhri dan al-Uqaili mengatakan:
“Hadits ini tidak ada diantara hadits-hadits az-Zuhri”
2.
Ibnu Adi berkata: “Salam bin Sulaiman bin Siwar (salah satu rawi
hadits) adalah seorang yang munkar (seorang rawi dha’if yang riwayatnya
bertentangan dengan para rawi tsiqoh)”
3.
Ibnu Adi juga berkata: “Maslamah bin ash-Shalt (salah satu rawi hadits)
adalah seorang yang majhul (tidak diketahui).” Sedangkan Abu Hatim
berkata: “Ia seorang yang tidak diterima haditsnya.”(Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 4/70)
Tidak
diragukan bahwa Ramadhan adalah bulan yang penuh rahmat, maghfirah dan
pembebasan dari api neraka. Akan tetapi pembagian sepuluh hari pertama,
kedua dan ketiga seperti yang disebutkan dalam hadits diatas tidak ada
dalam riwayat yang shahih. Wallahu a’lam.
Demikian
beberapa contoh hadits-hadits lemah dan palsu tentang Ramadhan, semoga
kita semakin berhati-hati dalam menyampaikan hadits, agar tidak terjatuh
kedalam berdusta atas nama Rasulullah SAW yang ancamannya adalah
neraka, wal iyadhu billah.
Wallahu ta’ala a’lam.
[1] Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya, 6/217, hadits no: 25862.
[2] Lihat: Jami’ al-Ushul karangan Ibn al-Atsir, hal: 139, dan Taudhih al-Afkar karangan Ibnu Hajar, 2/72.
[3] Sanad adalah: silsilah perawi (orang yang meriwayatkan hadits) sampai kepada Rasulullah SAW.
[4] Yang
dimaksud dengan ‘adil disini: seorang muslim, baligh, berakal, dan
tidak fasik serta tidak melakukan perbuatan yang menghilangkan muru’ah.
[5] Dhabith:
adalah kemampuan perawi menjaga hadits yang diterimanya dan
menyampaikannya seperti ketika menerimanya, baik dengan kekuatan
hafalannya, atau dengan catatan bukunya.
[6] Syadz:
adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqoh tetapi
bertentangan dengan riwayat sekelompok orang yang tsiqoh, atau seorang
yang lebih tsiqoh darinya.
[7] ‘illah: adalah kecacatan dalam riwayat yang secara dzahirnya tidak kelihatan, dan membuat hadits menjadi dhaif.