Entri Populer

Senin, 30 Juli 2012

HADITS-HADITS LEMAH & PALSU TENTANG RAMADHAN

Artikel ini ane copas dari blog sebelah dan ane share kembali mudah2an bisa jadi refernsi yang bermanfa'at..

HADITS-HADITS LEMAH DAN PALSU TENTANG RAMADHAN
Oleh: Ust. Achmad Dahlan, Lc, MA.


Al hamasah (semangat) adalah penggerak utama seseorang dalam setiap aktifitas, sehingga tanpanya, sebuah aktifitas akan terasa hambar, tanpa ruh, dan terlihat dilakukan dengan terpaksa. Semangat adalah asset besar yang harus dikelola, supaya tidak menjadi sia-sia dan tidak bermakna. Imam Hasan Al banna ketika menyebutkan tonggak berhasilnya sebuah fikrah, beliau menyebutkan 4 faktor utama yaitu: keyakinan yang teguh, keikhlasan dalam mengusungnya, semangat yang membara, dan kesiapan untuk berkorban demi terealisasikannya fikrah tersebut.
Akan tetapi dalam kontek ibadah (mahdhoh), semangat saja tidak cukup, bahkan justru bisa membawa celaka, jika tidak dibarengi dengan pengetahuan yang benar mengenainya. Karena suatu ibadah tidak akan diterima kecuali jika sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah, bukan hasil kreatifitas akal manusia. Tanpa ilmu, semangat akan membawa seseorang melenceng jauh dari jalan Allah, membawanya mereka-reka bentuk ibadah baru, keyakinan-keyakinan ekstrim, serta berbagai jenis bid’ah yang dicela oleh Rasulullah dalam sabdanya:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم من حديث عائشة رضي الله عنها)
Artinya: “Barang siapa mengada-adakan perkara baru dalam agama, maka ia tertolak.” (HR Muslim).
Oleh karena itu, seyogyanya semangat untuk beribadah selalu disinergikan dengan pemahaman yang benar, sehingga menghasilkan ibadah yang berkualitas.
Dalam kaitannya dengan bulan Ramadhan yang mulia ini, terkadang kita mendengar para penceramah menyebutkan fadhilah dan keutamaan Ramadhan dengan penuh semangat, namun lupa meneliti derajat hadits yang menjadi rujukannya. Seakan-akan, jika sudah berhasil membuat audien terinspirasi untuk beribadah, mengobarkan azam serta menggugah hati dan jiwa mereka, maka ceramah itu dianggap berhasil. Sang penceramah pun kemudian menjadi populer sehingga kewalahan memenuhi banyaknya permintaan berceramah. Walaupun ini bukan fenomena baru dalam sejarah Islam, akan tetapi selalu terulang dari zaman ke zaman. Sejak era shahabat, sudah dikenal al-Qashshashun (para ahli cerita) yang secara rutin memberikan mawaidh dan taujihat ruhiyyah kepada kaum muslimin di masjid. Mereka mampu membuat orang menangis, terharu, dan tergugah untuk beribadah. Karena khawatir fenomena ini akan menjadi bid’ah baru, beberapa shahabat menasehati mereka untuk tidak terlalu kerap melakukan aktifitas tersebut. Bahkan dalam sebuah riwayat, Aisyah RA sampai membai’at Ibnu Abi As-Saib, salah seorang pencerita di Madinah, untuk melakukan 3 hal: tidak bersajak dalam do’a, memberikan mauidhoh sekali saja dalam seminggu, dan tidak memotong pembicaraan orang yang berkumpul dalam majlis hanya untuk mendengar cerita-ceritanya.[1]
Dalam perkembangannya, bercerita di masjid menjadi profesi beberapa orang yang lemah imannya, demi mendapatkan sesuap nasi. Akhirnya, mereka berusaha dengan segala cara membuat ceramah menjadi berkesan. Maka digunakanlah riwayat-riwayat lemah, kisah-kisah dari Taurat dan Injil yang tidak dipastikan kesahihannya, bahkan dongeng-dongeng palsu dan dusta. Lebih parah lagi, sebagian dari mereka justru mengarang cerita-cerita dusta baru mengenai para Anbiya’ dan kisah kaum terdahulu. Ia kemudian menjadi kepercayaan dikalangan umat Islam selama berabad-abad kemudian. Maka, kalau kita membaca buku-buku tafsir seperti tafsir al-Alusi, tafsir al-Maraghi, At-tahrir wat Tanwir dll, kita akan mendapati para pengarangnya mengingatkan kaum muslimin untuk menolak kisah-kisah dusta karangan para al-Qashshashun tersebut.
Dalam sebuah riwayat yang disebutkan Ja’far bin Muhammad At Thoyalisy, bahwa suatu saat Imam Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Ma’in, dua orang imam hadits pada zamannya, singgah di Masjid ar-Roshofah dalam perjalanan mereka mengumpulkan hadits. Ketika itu, seorang pencerita berdiri seraya berkata: Aku meriwayatkan dari Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Ma’in, dari Abdur Rozaq, dari Ma’mar, dari Qotadah dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda: Barang siapa mengucapkan La Ilaha Illallah, maka akan diciptakan untuknya dari setiap kata yang diucapkannya seekor burung, paruhnya dari emas, bulunya dari berlian....dst. Dia terus melanjutkan membaca hadist sampai lebih dari dua puluh halaman. Merasa tidak pernah meriwayatkan hadits-hadits tersebut, Imam Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Ma’in saling berpandangan. Imam Ahmad bertanya kepada Yahya bin Ma’in: “Apakah kamu pernah meriwayatkan hadits itu?” Yahya menjawab: “Bahkan aku belum pernah mendengarnya sebelum ini.” Mereka berduapun menunggu sampai si pencerita selesai. Setelah selesai, Yahya melambaikan tangannya untuk memanggilnya. Merasa akan mendapatkan imbalan, si pencerita bergegas menuju kearah mereka. Yahyapun bertanya: “Dari siapa kamu meriwayatkan hadits itu?” Ia menjawah: “Dari Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Ma’in.” Yahya berkata: “Aku Yahya bin Ma’in, dan ini Ahmad bin Hambal, dan kami tidak pernah mendengar ada hadits seperti itu. Kalau kau mau berdusta, pakailah nama orang lain, jangan memakai nama kami.” Si pencerita segera berkata: “Apa betul engkau Yahya bin Ma’in?” Yahya menjawab: “Ya”. Ia berkata: “Sudah lama aku kudengar Yahya bin Ma’in adalah orang bodoh, dan baru sekarang aku membuktikannya.” Yahya bertanya dengan penasaran: “Kenapa kau menganggapku bodoh?” Ia menjawab: “Apa kau kira tidak ada Yahya bin Ma’in dan Ahmad bin Hambal selain kalian berdua? Sesungguhnya aku telah meriwayatkan dari 17 orang Ahmad bin Hambal selain orang ini.” Mendengar perkatannya, Imam Ahmad dengan menutup wajahnya karena menahan tawa berkata: “Biarkan dia pergi.”[2] Pada kisah ini kita melihat, seorang pencerita rela berdusta untuk memperoleh sedekah, dan bahkan ketika terbongkar kedoknya, dia semakin memperpanjang dustanya dengan perkataan yang tidak masuk akal.
Sangat disayangkan bahwa banyak orang yang tidak sadar bahaya dusta dengan menisbahkan perkataan yang bukan sabda Rasulullah kepada beliau. Padahal, beliau sangat keras melarang berdusta, terlebih lagi dalam meriwayatkan hadits, dengan alasan dan motif apapun. Menyampaikan hadits palsu dengan mengetahui bahwa ia palsu, termasuk dalam kategori dusta kepada Rasulullah, yang ancamannya adalah neraka. Rasulullah bersabda:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ (رواه مسلم، والترمذي وابن ماجه، وأحمد، وابن حبان، والطبراني)
Artinya: “Barang siapa meriwayatkan hadits yang ia tahu bahwa hadits itu palsu, maka ia adalah salah satu dari 2 pendusta.” ( HR. Muslim, at Turmudzi, Ibnu, Majah, Ahmad, Ibnu Hibban, dan Thabrani)
Rasulullah juga bersabda:
إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ (رواه الجماعة)
Artinya: “Berdusta atas namaku, tidak sama dengan dusta yang lain. Barang siapa melakukannya, hendaklah ia bersiap-siap mendapatkan tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari, Muslim dll)
Dalam hadits yang lain, Rasulullah juga bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ (رواه مسلم، وأبو داود، والحاكم وغيرهم)
Artinya: “Cukup bagi seseorang dianggap berdusta, apabila dia menceritakan semua yang pernah ia dengar.” (HR Muslim, Abu Dawud, Al Hakim dll).
Demikianlah ancaman yang sangat berat bagi orang yang secara sembrono mengumbar hadits, tanpa meneliti kesahihannya. Perlu digaris bawahi disini, bahwa larangan diatas hanya relefan untuk periwayatan hadits palsu, bukan hadits yang lemah (Dhaif). Hadits palsu berarti ungkapan buatan orang yang dinisbahkan kepada Rasulullah. Penyebutan hadits untuk hadits palsu sendiri dikritik oleh beberapa ulama, karena pada hakikatnya perkataan tersebut bukan sabda Rasulullah.
Sedangkan hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi salah satu syarat dari hadits sohih yaitu: bersambungnya sanad,[3] periwayatan seorang yang tsiqoh (‘adil[4] dan dhobith[5]) dari orang yang tsiqoh, tidak syadz[6] dan tidak ada ‘illah[7]. Dalam hal ini, terdapat kemungkinan bahwa hadits dha’if betul-betul sabda Rasulullah, atau sabda beliau yang diriwayatkan dalam bentuk yang salah karena kesalahan orang yang meriwayatkannya. Artinya, walaupun secara zahir hadits dha’if ditolak karena tidak memenuhi syarat yang dirumuskan para ahli hadits, akan tetapi pada hakikatnya, ada kemungkinan –walaupun kurang dari 50 persen- bahwa ucapan tersebut betul-betul sabda Rasulullah SAW. Berbeda dengan hadits palsu yang dipastikan bukan ucapan Rasulullah, melainkan karangan manusia biasa yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW.
Secara global, hadits dhaif dibagi menjadi dua, yaitu: Dhaif Yanjabir (lemah tapi bisa dikuatkan hadits lain sehingga terangkat derajatnya) dan Dhaif La Yanjabir (lemah dan tidak bisa diangkat derajatnya karena kondisi perawinya dll).
Hukum beramal dengan hadits dha’if
Permasalahan tentang boleh tidaknya mengamalkan hadits dhaif, merupakan masalah klasik yang telah menjadi topik perdebatan sejak dahulu. Sampai saat ini, tidak ada kesepakatan yang bulat mengenainya. Baik kelompok yang membolehkan mengamalkan hadits dhaif secara umum, ataupun yang melarangnya, masing-masing mempunyai hujjah dan alasannya. Ada juga kelompok pertengahan yang membolehkan dengan syarat-syarat tertentu.
Walaupun demikian, ada beberapa masalah yang disepakati oleh para ulama berkenaan dengan mengamalkan hadits dha’if, yaitu:
1. Tidak boleh mengamalkan hadits dha’if dalam masalah aqidah, ibadah-ibadah yang ushul (utama) ataupun muamalat.
2. Tidak boleh menggunakan hadits dha’if untuk menetapkan suatu hukum amali (hukum yang berkaitan dengan amalan) yang terkenal, misalnya: sholat, puasa, haji dll.
3. Tidak boleh mengamalkan hadits dha’if yang sangat lemah (dha’if la yanjabir) dan hadits palsu secara mutlak, baik dalam masalah aqidah, hukum, ibadah, fadhail a’mal dll.
Secara ringkas, perbedaan pendapat mengenai hukum mengamalkan hadits dhaif dapat dipaparkan sebagai berikut:
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa mengamalkan hadits dha’if dengan semua jenisnya (baik yang tidak terlalu lemah ataupun yang sangat lemah) adalah haram. Diantara hujjah mereka adalah bahwa hadits shahih dan hasan sudah mencukupi untuk menjadi rujukan dalam semua permasalahan manusia, sehingga menjadi sesuatu yang sia-sia menggunakan hadits dha’if yang secar zahir bukan sabdaNabi Muhammad SAW. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Hazm, Ibnu Ma’in, Syekh Ahmad Syakir, dan Syekh al-Albani.
2. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits dha’if bisa dijadikan hujjah, terutama dalam masalah yang tidak ditemukan hadist shahih, karena menurut mereka hadits dha’if lebih baik daripada analogi dan pendapat manusia. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, Abu Dawud, Ibnu Mahdi, Ibnul Mubarok dll. Dan kalau kita melihat buku-buku fiqh ulama terdahulu, maka akan kita dapati banyak dari mereka yang menggunakan hadits dha’if sebagai dalil, terutama dalam kondisi tersebut. Imam Ahmad berkata: “Hadits dha’if lebih aku sukai daripada pendapat manusia, karena qiyas tidak dipakai kecuali dalam kondisi tidak adanya nash (dalil dari qu’ran atau hadits).”
3. Pendapat ketiga memberikan syarat-syarat dibolehkannya beramal dengan hadits dha’if sebagai berikut:
a. Hanya boleh diamalkan dalam masalah fadhail a’mal (keutamaan amal-amal ibadah), bukan masalah aqidah, ibadah, dan halal-haram.
b. Hadits dha’if tersebut bukan kategori sangat lemah (dha’if dha’fan syadidan atau Dha’if al yanjabir). Maka hadits-hadits yang diriwayatkan oleh perawi pendusta, atau yang dituduh berdusta, atau yang selalu salah dalam meriwayatkan hadits tidak boleh diamalkan.
c. Hadits tersebut berisi hukum yang sudah ditetapkan dengan dalil yang shahih.
d. Ketika mengamalkan hadits tersebut tidak berkeyakinan bahwa bahwa ia adalah sabda Nabi Muhammad SAW.
Ini adalah syarat-syarat yang disebutkan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar, dan disetujui oleh beberapa ulama seperti Imam Suyuthi dll. Bahkan dalam kitab Fathul Mughits dikatakan bahwa pendapat ini menjadi pendapat jumhur ulama.
Beberapa hadits palsu dan dha’if tentang Ramadhan
Berikut ini adalah beberapa hadits palsu dan lemah yang berkaitan dengan bulan ramadhan. Perlu disampaikan disini, bahwa tujuan dari mengetahui hadits-hadits ini adalah supaya kita berhati-hati dan tidak mengamalkannya, terutama hadits-hadits palsu. Sebagaimana ucapan seorang penyair:
عَرَفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ لَكِنْ لِتَوَقِّيهِ ... وَمَنْ لاَ يَعْرِفِ الشَّرَّ مِنَ النَّاسِ يَقَعْ فيهِ
“Aku mengetahui keburukan bukan untuk mengamalkannya tapi agar tidak terperosok kedalamnya ... Karena orang yang tidak mengetahui keburukan akan jatuh kedalamnya.”
Perlu diketahui juga bahwa yang disebutkan di bawah ini tidak mencakup semua hadits palsu dan dha’if tentang Ramadhan, karena masih banyak hadits-hadits lain yang bisa ditemukan dalam kitab-kitab yang membahas secara masalah tersebut seperti: Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah karangan Syekh al-Albani, al-Maudhu’at karangan Ibnu al-Jauzi, al-Manar al-Munif karangan Ibnu al-Qayyim, al-La’ali’ al-Mashnu’ah karangan Imam Suyuthi dll.
Hadits palsu tentang Ramadhan
1. Hadits pertama
إِنَّ الله لَيْسَ بِتَارِكِ أَحَدًا مِنَ المُسْلِمْينَ صَبِيْحَةَ أَوَّلِ يَوْمٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ إِلاَّ غَفَرَ لَهُ
Artinya: “Allah mengampuni semua kaum muslimin pada hari pertama ramadhan tanpa seorangpun terkecuali.”
Hadits ini palsu karena dalam sanadnya terdapat Salam ath-Thowil yang dituduh memalsukan hadits. Gurunya (perawi sebelumnya) yaitu Ziyad bin Maimun juga seorang pemalsu hadits dengan pengakuannya sendiri .(Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 1/465)
2. Hadits kedua
إِذَا كاَنَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ نَظَرَ اللهُ عزّ وَجَلّ إِلَى خَلْقِهِ، وَإِذَا نَظَرَ اللهُ عز وجل إِلَى عَبْدِهِ لَمْ يُعَذِّبْهُ أَبَدًا، وَلِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِى كُلِّ لَيْلَةٍ أَلْفُ أَلْفِ عَتِيقٍ مِنَ النَّارِ
Artinya: “Pada malam pertama bulan Ramadhan, Allah melihat makhluk-makhluk-Nya, dan apabila Allah melihat hamba-Nya, maka Ia tidak akan menyiksanya. Dan Allah membebaskan satu juta orang dari api neraka setiap malam.”
Hadits ini palsu karena kebanyakan perawinya tidak dikenal, dan dalam sanadnya ada Utsman bin Abdullah, seorang pemalsu hadits. (Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 1/470, al-Mudhu’at, Ibnul Jauzi: 2/190, al-La’ali’ al-Mashnu’ah, as-Suyuthi: 2/100-101)
3. Hadits ketiga
أَلاَ أُخْبِرُكُم بِأَفْضَلِ الْمَلاَئكةِ جِبْرِيلُ عليه السلام، وَأَفْضَلُ النَّبِيِّينَ آدَمُ، وَأَفْضَلُ الأيَّامِ يَوْمُ الجُمُعَةِ، وَأَفْضَلُ الشُّهُورَ شَهْرُ رمضان، وَأَفْضَلُ الّليَالِي لَيْلَةُ القَدَر، وَأَفْضَلُ النِّسَاءِ مَرْيَم بِنْتِ عِمْرَان " .
Artinya: “Maukah kalian aku beritahu? Malaikat paling mulia adalah Jibril, nabi paling mulia adalah Adam, hari paling mulia adalah Jum’at, bulan paling mulia adalah Ramadhan, malam paling mulia adalah Lailatul Qadar, dan wanita paling mulia adalah Maryam binti Imran.”
Hadits ini palsu karena dalam sanadnya ada Nafi’ Abu Hurmuz yang menurut Ibnu Ma’in ia adalah seorang pendusta. (Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 1/638)
Dari sisi kandungannya, hadits ini juga bertentangan dengan hadits shahih yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul yang paling mulia.
4. Hadits keempat
مِنِ اعْتَكَفَ عَشْرًا فِي رَمَضَان كَانَ كَحَجَّتَيْنِ وَعُمْرَتَيْن
Artinya: “Barang siapa beri’tikaf selama sepuluh hari pada bulan ramadhan maka seakan-akan ia telah melakukan 2 kali haji dan 2 kali umrah.”
Hadits ini palsu karena dalam sanadnya ada ‘Ambasah bin Abdurrahmah, yang menurut Abu Hatim dan adz-Dzahabi ia seorang pemalsu hadits. Ibnu Hibban berkata: “Ambasah mempunyai riwayat-riwayat palsu dan yang tidak ada sumbernya.” (Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 2/10)
5. Hadits kelima
كَانَ يُصَلِّي فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي غَيْرِ جَمَاعَةٍ بِعِشْرِينِ رَكْعَةً وَالْوِتْرِ
Artinya: “Bahwa Rasulullah SAW pada bulan Ramadhan solat bersendirian (tidak berjamaah) sebanyak 20 rakaat dilanjutkan dengan witir.”
Dalam sanad hadits ini terdapat Abu Syaibah, tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari gurunya selain darinya. Menurut al-Baihaqi, al-Haitsami, Ibnu Hajar dll ia adalah seorang perawi yang lemah haditsnya. Sedangkan Syekh al-Albani menganggap hadits ini palsu dengan alasan:
1. Karena bertentangan dengan hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi Muhammad tidak pernah shalat malam lebih dari 11 rakaat baik pada bulan Ramadhan ataupun diluar Ramadhan.”
2. Abu Syaibah menurut beberapa ahli hadits dianggap sebagai pendusta, seperti Syu’bah dan Imam Bukhari.
3. Hadits tersebut menerangkan bahwa Nabi Muhammad shalat bersendirian, dan ini bertentangan dengan hadits shahih riwayat Jabir yang mengatakan Nabi shalat taraweh tiga hari dengan berjama’ah. (Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 2/35)
Namun perlu diketahui bahwa ulama yang berpendapat shalat taraweh 20 raka’at tidak menggunakan hadits ini sebagai dalil, akan tetapi menggunakan dalil-dalil yang lain yang tidak mungkin penulis paparkan semuanya disini. Secara ringkasnya mengenai shalat taraweh, ada pendapat yang mengatakan tidak boleh lebih dari 11 rakaat, dan ada pendapat yang membolehkan lebih dari 11 raka’at, dan semua mempunyai dalilnya masing-masing. Oleh karena itu, tidak sepantasnya membid’ahkan salah satu dari pendapat tersebut, padahal keduanya merupakan pendapat para shahabat dan imam-imam terdahulu.
6. Hadits keenam
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا في شَهْرِ رَمَضَان فيِ الْحَضَرِ فَلْيَهْدِ بَدَنَةً، فَإِنْ لمَ يَجِدْ فَلْيُطْعِمْ ثَلاَثِينَ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ الْمَسَاكِيْن
Artinya: “Barang siapa yang berbuka (membatalkan puasanya) pada bulan Ramadhan sedangkan ia mukim, maka hendaklah berkurban dengan unta, apabila ia tidak mampu hendaklah ia memberi makan 30 orang miskin dengan satu sha’ kurma.”
Dalam sanad hadits ini terdapat Harits bin Ubaidah al-Kala’i, ia adalah seorang pendusta. (Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 2/88, al-Mudhu’at, Ibnul Jauzi: 2/196, al-La’ali’ al-Mashnu’ah, as-Suyuthi: 2/106)
7. Hadits ketujuh
مَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ بِمَكَّةَ فَصَامَ وَقَامَ مِنْهُ مَا تَيَسَّرَ لَهُ، كَتَبَ اللهُ لَهُ مِائَةَ أَلْفِ شَهْرِ رَمَضَانَ فِيْمَا سِوَاهَا، وَكَتَبَ الله لَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ عِتْقَ رَقَبَةٍ، وَكُلِّ لَيْلَةٍ عِتْقَ رَقَبَةٍ، وَكُلِّ يَوْمٍ حَمْلاَنَ فَرَسٍ في سَبِيلِ الله، وَفِي كُلِّ يَومٍ حَسَنَةً، وَفِي كُلِّ لَيْلةٍ حَسَنَةً .
Artinya: “Barang siapa berpuasa Ramadhan di Makkah, dan melakukan qiyam Ramadhan sebatas kemampuannya, maka Allah menulis baginya pahala seratus ribu puasa Ramadhan selain di Makkah, dan Allah menulis baginya pahala memerdekan budak setiap hari, dan setiap malam. Dan menulis baginya pahala menyiapkan kuda perang untuk berjihad di jalan Allah, dan menulis baginya satu kebaikan setiap hari dan setiap malam.”
Dalam sanad hadits ini terdapat Abdurrahim bin Zaid al-‘Ammi. Ibnu Ma’in berkata tentangnya: “Pendusta yang keji.” Ibnu Hibban berkata: “Ia meriwayatkan dari ayahnya hadits-hadits aneh yang tidak diragukan lagi oleh ahli hadits bahwa ia adalah palsu atau bercampur satu hadits dengan hadits lain. (Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 2/232)
8. Hadits kedelapan
أَتَدْرُونَ لِمَ سُمِّيَ شَعْبَان؟ لأَِنَّهُ يَشْعُبُ فِيهِ خَيْرٌ كَثِيرٌ . وَإِنَّمَا سُمِّيَ رَمَضَان؛ لأَِنَّهُ يَرْمِضُ الذُّنُوبَ.
Artinya: “Tahukah kalian mengapa disebut bulan Sya’ban? Karena didalamnya terdapat kebaikan yang sangat banyak. Tahukah kalian mengapa disebut bulan Ramadhan? Karena ia melelehkan dosa dengan panasnya.”
Hadits ini palsu karena didalam sanadnya terdapat Ziyad bin Maimun ats-Tsaqafi. Yazid bin Harun berkata tentangnya: “Ia seorang pendusta.”. (Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 7/209)
Hadits dha’if tentang Ramadhan
1. Hadits pertama
صَائِمُ رَمَضَانَ فِى السَّفَرِ كَالْمُفْطِرِ فِى الْحَضَرِ
Artinya: “Orang yang berpuasa dalam perjalanan seperti orang yang tidak puasa ketika mukim.”
Hadits ini lemah dengan 2 sebab:
1. Sanadnya terputus, karena Abu Salamah bin Abdurrahman tidak mendengar hadits ini dari perawi sebelumnya yaitu ayahnya, seperti disebutkan al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.
2. Usamah bin Zaid (bukan Usamah shahabat Nabi) lemah hafalannya, dan riwayatnya bertentangan dengan perawi yang tsiqoh yaitu Ibnu Abi Dzi’b yang meriwayatkan hadits ini sebagai ucapan Abdurrahman bin Auf, bukan sabda Rasulullah SAW. (Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 1/713)
Ini berarti, ungkapan diatas sebenarnya bukanlah sabda Rasulullah SAW, akan tetapi ucapan seorang shahabat yaitu Abdurrahman bin Auf.
2. Hadits kedua
رَمَضَانُ بِالْمَدِيْنَةِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ رَمَضَانَ فِيْمَا سِوَاهَا مِنَ الْبُلْدَان، وَجُمْعَةٌ بِالْمَدِيْنَةِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ جُمْعَةٍ فِيْمَا سِوَاهَا مِنَ الْبُلْدَانِ
Artinya: “Ramadhan di Madinah lebih baik dari seribu Ramadhan di negeri-negeri lain, dan shalat Jum’at di Madinah lebih baik dari seribu kali shalat Jum’at di negeri-negeri lain.”
Hadits ini lemah karena dalam sanadnya terdapat perawi yang Majhul (tidak diketahui) yaitu Abdullah bin Katsir bin Ja’far. Adz-Dzahabi berkata: “Tidak diketahui siapa dia, ini adalah sanad yang batil.” Al-Hafidz Ibnu Hajar juga mendukung pendapat adz-Dzahabi dalam kitabnya Lisan al-Mizan. (Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 2/230)
Tidak disangkal bahwa ibadah di Madinah lebih baik daripada ibadah ditempat lain, karena kekhususan Madinah sebagai Tanah Haram berkat do’a Nabi Muhammad, juga dengan adanya Masjid Nabawi yang shalat didalamnya dilebihkan seribu kali pahala dari shalat di masjid lain, kecuali di Masjidil Haram dan Masjidil Aqsho. Akan tetapi, bahwa puasa Ramadhan dan shalat Jum’at di Madinah dilebihkan pahalanya seribu kali, tidak disebut dalam hadits-hadits shahih.
3. Hadits ketiga
لاَ بَأْسَ بِقَضَاءِ شَهْرِ رَمَضَانَ مُفَرَّقًا
Artinya: “Mengqodho’ puasa Ramadhan boleh dilakukan secara terpisah (tidak berurutan).”
Hadits ini lemah karena dalam sanadnya terdapat Yahya bin Sulaim ath-Thaifi yang buruk hafalannya. (Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 2/136)
Walaupun hadits ini lemah, akan tetapi maknanya benar, yaitu bahwa menqodho’ Ramadhan tidak disyaratkan berurutan menurut pendapat sebagian besar ulama’, sesuai dengan firman Allah ta’ala: “Maka hendaklah ia menqodhonya pada hari-hari yang lain.” (Al Baqarah: 184). Ayat ini hanya menunjukkan kewajiban mengganti puasa, dan bukan kewajiban mengganti puasa dengan berurutuan.
Diantara ulama yang mensyaratkan harus berurutan adalah al-Hasan al-Bashri dan Dawud adz-Dhahiri, berdasarkan riwayat Aisyah, bahwa ia berkata: “Telah turun ayat: “Maka hendaklah ia menqodhonya pada hari-hari yang lain secara berurutan.”, akan tetapi kemudian kata: berurutan tidak dicantumkan.” (al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, Wahbah az-Zuhaily: 2/680)
4. Hadits keempat
مَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ، وَعَلَيْهِ مِنْ رَمَضَانَ شَيْءٌ لَمْ يَقْضِهِ، لَمْ يُتَقَبَّلْ مِنْهُ، وَمَنْ صَامَ تَطَوُّعًا وَعَلَيْهِ مِنْ رَمَضَانَ شَيْءٌ لَمْ يَقْضِهِ، فَإِنَّهُ لاَ يُتَقَبَّلُ مِنْه حَتَّى يَصُومَهُ
Artinya: “Barang siapa berpuasa Ramadhan, dan dia masih mempunyai hutang puasa Ramadhan tahun sebelumnya yang belum diqodho’, maka puasanya tidak diterima. Dan barang siapa puasa sunnah, sedangkan dia masih mempunyai hutang puasa Ramadhan yang belum diqodho’ maka puasanya tidak diterima.
Hadits ini lemah karena dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Lahi’ah, seorang rawi yang terkenal buruk hafalannya. Illah yang lain adalah sanad dan matannya Mudhtharib (diriwayatkan dalam bentuk berbeda-beda atau saling bertentangan) (Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 2/235)
Mengenai masalah qodho’ puasa Ramadhan, madzhab Syafi’i berpendapat wajib hukumnya bersegera mengqodho’ puasa apabila ia membatalkan puasanya bukan karena uzur syar’i, dan makruh baginya berpuasa sunnah. Apabila sampai Ramadhan selanjutnya ia masih mempunyai hutang puasa, maka Jumhur ulama mengatakan bahwa setelah bulan Ramadhan tersebut dia harus menqodho’ hutang puasanya, ditambah dengan membayar fidyah. Sedangkan madzhab Hanafi berpendapat, ia wajib menqodho’ puasanya saja tanpa membayar fidyah.(al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, Wahbah az-Zuhaily: 2/679)
5. Hadits kelima
أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّار
Artinya: “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah pengampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.”
Walaupun hadits ini sangat masyhur dan sering disampaikan dalam berbagai ceramah, akan tetapi ada beberapa sebab yang membuat hadits ini lemah:
1. Hadits ini diriwayatkan melalui Imam az-Zuhri dan al-Uqaili mengatakan: “Hadits ini tidak ada diantara hadits-hadits az-Zuhri”
2. Ibnu Adi berkata: “Salam bin Sulaiman bin Siwar (salah satu rawi hadits) adalah seorang yang munkar (seorang rawi dha’if yang riwayatnya bertentangan dengan para rawi tsiqoh)”
3. Ibnu Adi juga berkata: “Maslamah bin ash-Shalt (salah satu rawi hadits) adalah seorang yang majhul (tidak diketahui).” Sedangkan Abu Hatim berkata: “Ia seorang yang tidak diterima haditsnya.”(Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah, al-Albani: 4/70)
Tidak diragukan bahwa Ramadhan adalah bulan yang penuh rahmat, maghfirah dan pembebasan dari api neraka. Akan tetapi pembagian sepuluh hari pertama, kedua dan ketiga seperti yang disebutkan dalam hadits diatas tidak ada dalam riwayat yang shahih. Wallahu a’lam.
Demikian beberapa contoh hadits-hadits lemah dan palsu tentang Ramadhan, semoga kita semakin berhati-hati dalam menyampaikan hadits, agar tidak terjatuh kedalam berdusta atas nama Rasulullah SAW yang ancamannya adalah neraka, wal iyadhu billah.
Wallahu ta’ala a’lam.

[1] Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya, 6/217, hadits no: 25862.
[2] Lihat: Jami’ al-Ushul karangan Ibn al-Atsir, hal: 139, dan Taudhih al-Afkar karangan Ibnu Hajar, 2/72.
[3] Sanad adalah: silsilah perawi (orang yang meriwayatkan hadits) sampai kepada Rasulullah SAW.
[4] Yang dimaksud dengan ‘adil disini: seorang muslim, baligh, berakal, dan tidak fasik serta tidak melakukan perbuatan yang menghilangkan muru’ah.
[5] Dhabith: adalah kemampuan perawi menjaga hadits yang diterimanya dan menyampaikannya seperti ketika menerimanya, baik dengan kekuatan hafalannya, atau dengan catatan bukunya.
[6] Syadz: adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqoh tetapi bertentangan dengan riwayat sekelompok orang yang tsiqoh, atau seorang yang lebih tsiqoh darinya.
[7] ‘illah: adalah kecacatan dalam riwayat yang secara dzahirnya tidak kelihatan, dan membuat hadits menjadi dhaif.

Sabtu, 28 Juli 2012

PRAMUKA SIT AL-FAHMI PEDULI DHU’AFA


PRAMUKA SIT AL-FAHMI PEDULI DHU’AFA

Palu, 28 Juli 2012.
Ramadhan-, bulan yang penuh berkah menjadi momen yang sangat berarti bagi Santri-santri Gerakan Pramuka SAKO SIT SDIT Al-Fahmi untuk mengasah empati dan peduli kepada sesama. Dengan mengambil tema “Pramuka SIT Peduli Dhu’afa”, 2 regu santri SDIT ini melakukan kunjungan ke panti asuhan untuk berbagi kebahagiaan melalui bingkisan yang telah mereka siapkan.

Kegiatan kunjungan ke panti asuhan dilaksanakan di Panti asuhan Yayasan al-Ikhlash yang berada di wilayah Kelurahan Donggala Kodi Kecamatan Palu Barat yang beralamatkan di jalan Munif Rahman. Tiap-tiap siswa membawa bingkisan, berupa sembako, Infaq, serta Pakaian bekas layak pakai.
Kegiatan diawali sambutan dari pengurus panti yang menceritakan seputar kegiatan yang dilaksanakan di panti tersebut. Dihadapan santri, beliau menjelaskan bahwa di panti itu dihuni oleh 24 anak asuh dari berbagai latar belakang. Ada yatim,piatu, fuqara wal masakin. 
“ Kegiatan ini sudah menjadi rutinitas tahunan kami (Pramuka SIT Al-Fahmi;red) untuk khususnya di bulan suci ini untuk berbagi kepada sesama dengan menyelanggarakan kegiatan Pramuka SIT Peduli Dhuafa. Dengan mencoba mentadaburi salah satu surah dalam al-qur’an yaitu surah al-Maa’uun yaitu tentang orang-orang yang dianggap mendustakan agama. Salah satu diantaranya yaitu yang menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin. Dari pesan surat Al Ma’un itu, anak-anak diajak untuk lebih peduli pada anak yatim dan menyayangi fakir miskin.”Papar Naufal Abd. Rahman selaku pembina Pramuka SIT Al-Fahmi Palu.
Bapak Syam Ojosawa, SP. selaku ketua Yayasan dari panti asuhan memberikan sambutan yang berisikan ajakan pada anak-anak untuk berlatih peduli sejak dini pada sesama yang kekurangan dan membutuhkan perhatian sekaligus berterima kasih atas kunjungan adik-adik dari Pramuka SIT Al-Fahmi.
Secara keseluruhan acara bakti sosial ke panti asuhan berjalan lancar dan memberikan kesan yang mendalam bagi anak-anak. Setidaknya diharapkan anak-anak menjadi tahu, bahwa banyak dari saudara-saudara mereka yang membutuhkan bantuan. Semoga dengan kegiatan ini tertanam di hati anak untuk suka berbagi dan lebih peduli dengan sesama (JK).


Jumat, 27 Juli 2012

Memaknai Puasa Oleh Muhammad Choirin* IKADI Ramadhan adalah sebuah madrasah imaniah bagi kaum Muslimin. Sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, puasa adalah sebuah media yang harus menghasilkan ketakwaan. (QS al-Baqarah [2]: 183). Orang yang berpuasa secara benar akan menjadi pribadi-pribadi muttaqin. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ Minimal ada lima kaidah untuk mengoptimalkan makna puasa bagi kehidupan Muslim. Pertama, puasa hendaklah didasari atas keimanan (amanu). Allah SWT menggunakan ungkapan ya ayyuhallazina amanu. Hal ini menuntut agar kedatangan Ramadhan disambut dengan keimanan. Iman merupakan satu-satunya energi yang dapat membentuk sikap dan karakter seseorang. Dengan iman, seseorang akan mampu bersabar untuk menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa. Inilah rahasia hadis Nabi Muhammad SAW. Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan atas dasar keimanan dan mengharap rida Allah maka ia akan diberikan ampunan dosa yang telah lalu. Kedua, puasa harus menjadi karakter dalam diri seorang Muslim (kutiba). Allah SWT menggunakan istilah kutiba (ditulis) bukan furidha atau ujiba. Dalam beberapa kamus bahasa Arab, kata ini sering diartikan dengan al-naqsyu `alal hijarah (mengukir di atas batu). Hal ini menunjukkan bahwa puasa menghasilkan sikap dan karakter yang pasti, seperti disiplin, patuh pada aturan, amanah, dan sungguh-sunguh dalam menjalani ketaatan syariat Allah SWT. Ketiga, mampu menahan diri. Kata kunci dari ibadah puasa adalah menahan diri, hal ini karena secara bahasa, puasa bermakna al-imsak (menahan diri). Siapa pun yang berpuasa ia harus menjadi pribadi yang dapat menjaga diri. Orang-orang sukses adalah orang yang dapat menahan diri dari sifat marah, arogan, egois, dan lain-lain. Jika menjadi orang kaya, ia dapat menahan diri untuk tidak sombong. Jika miskin, ia dapat menahan diri untuk tidak tamak. Keempat, mampu mengambil pelajaran dari orang lain. Puasa yang diwajibkan kepada umat Islam ini bukan ibadah baru, melainkan ibadah yang sangat lama dan tua, kama kutiba `alallazina min qablikum (sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu). Salah satu hikmah didatangkan ungkapan ini adalah untuk menyentuh psikologi kaum Muslimin untuk tidak merasa sendirian dalam beribadah. Inilah rahasia mengapa puasa pada bdi


Memaknai Puasa
Oleh Muhammad Choirin*
IKADI

Ramadhan adalah sebuah madrasah imaniah bagi kaum Muslimin. Sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, puasa adalah sebuah media yang harus menghasilkan ketakwaan. (QS al-Baqarah [2]: 183). Orang yang berpuasa secara benar akan menjadi pribadi-pribadi muttaqin.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
                         
Minimal ada lima kaidah untuk mengoptimalkan makna puasa bagi kehidupan Muslim.
 

Pertama, puasa hendaklah didasari atas keimanan (amanu). Allah SWT menggunakan ungkapan ya ayyuhallazina amanu. Hal ini menuntut agar kedatangan Ramadhan disambut dengan keimanan. Iman merupakan satu-satunya energi yang dapat membentuk sikap dan karakter seseorang. Dengan iman, seseorang akan mampu bersabar untuk menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa. Inilah rahasia hadis Nabi Muhammad SAW. Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan atas dasar keimanan dan mengharap rida Allah maka ia akan diberikan ampunan dosa yang telah lalu.

Kedua, puasa harus menjadi karakter dalam diri seorang Muslim (kutiba). Allah SWT menggunakan istilah kutiba (ditulis) bukan furidha atau ujiba. Dalam beberapa kamus bahasa Arab, kata ini sering diartikan dengan al-naqsyu `alal hijarah (mengukir di atas batu). Hal ini menunjukkan bahwa puasa menghasilkan sikap dan karakter yang pasti, seperti disiplin, patuh pada aturan, amanah, dan sungguh-sunguh dalam menjalani ketaatan syariat Allah SWT.

Ketiga, mampu menahan diri. Kata kunci dari ibadah puasa adalah menahan diri, hal ini karena secara bahasa, puasa bermakna al-imsak (menahan diri). Siapa pun yang berpuasa ia harus menjadi pribadi yang dapat menjaga diri. Orang-orang sukses adalah orang yang dapat menahan diri dari sifat marah, arogan, egois, dan lain-lain. Jika menjadi orang kaya, ia dapat menahan diri untuk tidak sombong. Jika miskin, ia dapat menahan diri untuk tidak tamak.

Keempat, mampu mengambil pelajaran dari orang lain. Puasa yang diwajibkan kepada umat Islam ini bukan ibadah baru, melainkan ibadah yang sangat lama dan tua, kama kutiba `alallazina min qablikum (sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu). Salah satu hikmah didatangkan ungkapan ini adalah untuk menyentuh psikologi kaum Muslimin untuk tidak merasa sendirian dalam beribadah. Inilah rahasia mengapa puasa pada bulan Ramadhan lebih ringan dibanding melaksanakan puasa sunah di luar bulan Ramadhan.

Kelima, puasa harus diproyeksikan untuk membuahkan ketakwaan. Sebab itu, kaum Muslimin wajib melaksanakan berbagai ketaatan yang dapat menghasilkan ketakwaan. Standar puasa yang sukses dan menghasilkan ketakwaan adalah pola dan frekuensi ibadah setelah Ramadhan yang jauh lebih meningkat.

Kelima tips tersebut menjadikan puasa akan menghasilkan karakter dan men-sibghah kehidupan seorang Muslim seusai bulan Ramadhan.[]

*REPUBLIKA (24/7/12) Rubrik Tausihyah kerja sama antara Republika dan Ikatan Dai Indonesia (Ikadi)

Boleh Tahajud/Qiyamullail Sesudah Tarawih dan Witir 

Oleh Abdullah Haidir, Lc
PIP PKS Arab Saudi

 Pendapat jumhur ulama, dan ini yang lebih kuat, bahwa orang yang sudah shalat witir di awal malam, tidak ada halangan baginya untuk shalat malam lagi di akhir malam jika dia ingin melakukannya.


Karena terdapat riwayat bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan shalat dua raat setelah shalat witir (HR. Tirmizi, Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh Al-Albany).

Sejumlah ulama, Imam Nawawi di antaranya, menyatakan bahwa perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam ini untuk menunjukkan kebolehan shalat malam setelah shalat Witir.

Dia tidak perlu shalat witir lagi apabila sudah shalat witir sebelumnya. Karena sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ

"Tidak ada dua witir dalam satu malam." (HR. Abu Daud, Tirmizi, dll).

Adapun hadits,

اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا

"Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari dengan shalat Witir," (muttafaq alaih)

dipahami para ulama sebagai hanya sebagai anjuran untuk menjadikan shalat witir sebagai akhir shalat malam. Atau ada juga yang memahami bahwa shalat witir hendaknya didahului oleh shalat-shalat yang genap, karena sebelumnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berbicara, bahwa shalat malam itu dua rakaat.

Intinya adalah bahwa dalam hadits tersebut tidak terdapat larangan untuk shalat malam lagi setelah shalat witir.

Karena itu, bagi yang shalat berjamaah Taraweh, sebaiknya dia ikut shalat bersama imam hingga selesai, termasuk shalat witir bersama imam. Kalaupun di akhir malam dia ingin shalat lagi, dia dapat melakukannya tanpa mengulangi lagi shalat witirnya. Karena shalat bersama imam hingga selesai, dianjurkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan dianggap sebagai shalat malam secara sempurna.

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

"Sesungguhnya siapa yang shalat (taraweh) bersama imam hingga selesai, akan dicatat baginya qiyamullail secara sempurna." (HR. Tirmizi dan Nasa'i)

Disamping hal tersebut lebih mendatangkan kesatuan dan keutuhan di antara jamaah masjid.

Wallahua'lam.

 

Rabu, 25 Juli 2012


TA'LIMAT
Kepada Kakak-kakak Penggalang
Gerakan PRAMUKA SAKO SIT AL-FAHMI Palu
di mana saja berada.
 Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu'alaikum war.wab.
تحيات الكشافة
Greating Scout's

Sehubungan dengan agenda PRAMUKA PEDULI DHU'AFA di bulan Ramadhan 1431 H. Maka dengan ini disampaikan bahwa kegiatan tersebut insya Allah akan dilaksanakan pada ;
Hari/tanggal      : Sabtu, 28 Juli 2012
Waktu              : pukul 07.00 - selesai
Tempat             : TPA Kawatuna (masih konfirmasi)
Rincian kegiatan :
07.00 - 10.00      = Menuju ke TPA Kawatuna
10.00 - 14.00      = IShoMa
14.00 - 15.30      = Nobar
15.30 - 16.00      = Sholat Ashar
16.00 - 17.30      = Mancing di Biromaru
17.30 - 18.00      = Ifthor Jama'i (buka puasa bersama)
18.00 - 19.30      = ShoMaI
19.30 - 20.00      = Persiapan Isya' & Tarweah
20.00 - 21.00      = Isya' + Tarweah
21.00 - .........      = Go Home

Catatan :
- Setiap Pandu mengumpulkan Pakaian Bekas layak pakai, Sembako, Uang zakat/shodaqoh.
- Waktu pengumpulan mulai hari senin, 23 Juli 2012 s/d 27 Juli 2012.
- Tempat Pengumpulan di sekretariat PRAMUKA SAKO SIT AL-FAHMI.

Demikian ta'limat ini disampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya yang baik diucapkan syukron Jazakumullah khairan katsiraa..

Pembina GPASIT Al-Fahmi

TTD
Naufal Abd. Rahman, S.Pd.I

Jumat, 20 Juli 2012

Ciri-Ciri Orang Beriman dalam Al-Qur'an

بسم الله الر حمن الر حيم
QS.Al-Anfal:2-4
Artinya;
“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhannya mereka bertawakkal.”
“(Yaitu) orang yang melaksanakan shalat dan menginfakkan sebagian rezeqi yang Kami berikan kepada mereka.”
“Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka akan meperoleh derajat tinggi disisi Tuhannya dan ampunan serta rezeqi (nikmat) yang mulia.”
At-Taubah:18
Artinya;
“Sesungguhnya orang yang memakmurkan mesjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apapun) kecuali kepada Allah. Maka mudahan mereka termasuk orang yang mendapat petunjuk.”
QS.Al-Mu’minun:1-9
Artinya;
“Sungguh beruntung orang yang beriman.”
“(Yaitu) orang yang khusyuk dalam shalatnya.”
“Dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.”
“Dan orang yang menunaikan zakat.”
“Dan orang yang memelihara kemaluannya.”
“Kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela.”
“Tetapi siapa yang mencari dibalik itu(zina, dan sebagainya) , maka mereka itulah yang melampui batas.”
“Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya.”
“Serta orang yang memelihara.”
QS.As-Sajadah:15-16
Artinya;
“Orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, hanyalah orang-orang yang apabila diperingatkan kepadanya (ayat-ayat Kami), mereka menyungkur sujud dan bertasbih serta memuji Tuhannya dan mereka tidak menyombongkan diri.”
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya,mereka berdo’a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap,dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeqi yang Kami berikan kepada mereka.”
QS.Al-Hujurat:15
Artinya;
“Sesungguhnya orang mu’min sejati adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya dijalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.”
QS.Al-Anfal:71
Artinya;
“Dan orang-orang yang beriman serta berjihad dijalan Allah, dan memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeqi (nikmat) yang mulia.”
QS.Al-Anfal:75
Artinya;
“Dan orang yang beriman setelah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu, maka mereka termasuk golonganmu. Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat) menurut kitab Allah. Sungguh Allah mengetahui segala sesuatu.”

DO'A SHOLAT TARWIH



بسم الله الرحمن الرحيم


اَللَّهُمَّ اجْعَلْناَ بِالْإِيْمَانِ كَامِلِيْنْ، وَلِلْفَرَآئِضِ مُؤَدِّيْنَ، وَلِلصَّلَاةِ حَافِظِيْنَ، وَلِلزَّكاَةِفَاعِلِيْنَ، وَلَمَاعِنْدَكَ طَالِبِيْنَ، وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ، وَبِالْهُدَى مُتَمَسِّكِيْنَ، وَعَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ، وَفِى الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ، وَفِى الْأَخِرَةِ رَاغِبِيْنَ، وَبِالْقَضَآءِ رَاضِيْنَ، وَلِلنَّعْمَآءِ شَاكِرِيْنَ، وَعَلَى الْبَلَآءِ صَابِرِيْنَ، وَتَحْتَ لِوَآءِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَآئِرِيْنَ، وَاِلَى الْحَوْضِ وَارِدِيْنَ، وَاِلَى الْجَنَّةِ دَاخِلِيْنَ، وَمِنَ النَّارِ نَاجِيْنَ، وَعَلَى سَرِيْرِ الْكَرَامَةِ قَاعِدِيْنَ، وَمِنْ حُوْرٍ عِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْنَ، وَمِنْ سُنْدُسٍ وَاِسْتَبْرَقٍ وَدِيْبَاجٍ مُتَلَبِّسِيْنَ، وَمِنْ طَعَامِ الْجَنَّةِ آَكِلِيْنَ، وَمِنْ لَبَنٍ وَعَسَلٍ مُصَفَّى شَارِبِيْنَ، بِأَكْوَابٍ وَاَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مَنْ مَعِيْنٍ، مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَآءِ وَالصَّالِحِيْنَ، وَحَسُنَ أُوْلَئِكَ رَفِيْقًا، ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْمًا. اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا فِى هَذَا الشَّهْرِ الشَّرِيْفَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ السُّعَدَآءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ، وَلاَ تَجْعَلْنَا مِنَ اْلأَشْقِيَآءِ الْمَرْدُوْدِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَأَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ، بِرَحْمَتِكَ يَآاَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Terjamahnya:

Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang sempurna imannya, yang melaksanakan kewajiban-
kewajiban terhadap-Mu, yang memelihara shalat, yang mengeluarkan zakat, yang mencari apa yang ada di sisi-Mu, yang mengharapkan ampunan-Mu, yang berpegang pada petunjuk, yang berpaling dari kebatilan, yang zuhud di dunia, yang menyenangi akherat , yang ridha dengan ketentuan, yang ber¬syukur atas nikmat yang diberikan, yang sabar atas segala musibah, yang berada di bawah panji-panji junjungan kami, Nabi Muhammad, pada hari kiamat, sampai kepada telaga (yakni telaga Nabi Muhammad) yang masuk ke dalam surga, yang duduk di atas dipan kemuliaan, yang menikah de¬ngan para bidadari, yang mengenakan berbagai sutra ,yang makan makanan surga, yang minum susu dan madu yang murni dengan gelas, cangkir, dan cawan bersama orang-orang yang Engkau beri nikmat dari para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang terbaik. Itulah keutamaan (anugerah) dari Allah, dan cukuplah bahwa Allah Maha Mengetahui.
Ya Allah, jadikanlah kami pada malam yang mulia dan diberkahi ini tergolong orang-orang yang bahagia dan diterima amalnya, dan janganlah Engkau jadikan kami tergolong orang-orang yang celaka dan ditolak amalnya, Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya atas penghulu kita Muhammad, keluarga beliau dan shahabat beliau semuanya, berkat rahmat-Mu, oh Tuhan, Yang Paling Penyayang di antara yang penyayang.
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

FADHILAH SHUBUH SAMPAI SYURUQ


1. Keutamaan shalat shubuh
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

‎أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوداً

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”
(QS. Al Isra: 78)
Rasululloh bersabda:
مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ نِصْفِ لَيْلَةٍ وَمَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ لَيْلَةٍ
Barangsiapa sholat isya’ di dalam jama’ah, hal itu seperti sholat setengah malam. Dan barangsiapa sholat isya’ dan subuh di dalam jama’ah, hal itu seperti sholat semalam suntuk
(HR. Abu Dawud)
Belum lagi ditambah dengan keutamaan shalat qabliyah shubuh, yang dimana Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
“Dua raka’at Shalat Fajr (shalat qabliyah shubuh) lebih baik dari pada dunia dan seisinya.”
[HR. Muslim]
Bukti kelurusan iman seseorang; karena Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam tentang shalat shubuh bersabda:
صَلَاةٌ أَثْقَلَ عَلَى الْمُنَافِقِينَ مِنْ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
“Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat Isya’ dan Shubuh, jika mereka mengetahui pahalanya, niscaya mereka mendatanginya kendatipun dengan merangkak.”
(HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya)
Maka tentu, orang yang baik keimanannya; tidak akan merasa berat dengan kedua shalat ini.
2. Keutamaan shalat berjama’ah
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam tentang shalat berjamaah:
‎صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat berjama’ah LEBIH AFDHAL dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian”
[Muttafaqun 'alayh]
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
‎إِنَّ صَلَاةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ وَصَلَاتُهُ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا كَثُرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى
Sesungguhnya shalat seseorang yang berjamaah dengan satu orang, adalah lebih baik daripada shalat sendirian. Dan shalatnya bersama dua orang jamaah, adalah lebih baik daripada shalat bersama seorang jamaah. Semakin banyak jama’ahnya, maka semakin dicintai oleh Allah Ta’ala.”
(Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat bab Fi Fadhli Shalatul Jama’ah no.467, An-Nasaa’i dalam sunannya kitab Al Imamah bab Al jama’ah idza kaana Itsnaini no.834, Ahmad dalam Musnad-nya no.20312 dan Al Haakim dalam Mustadrak-nya 3/269. Hadits ini di-shahih-kan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, 2/366-367, no. 1477)
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
‎لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ يَعْلَمُ أَنَّهُ إِذَا شَهِدَ الصَّلَاةَ مَعِي كَانَ لَهُ أَعْظَمُ مِنْ شَاةٍ سَمِينَةٍ أَوْ شَاتَيْنِ لَفَعَلَ فَمَا يُصِيبُ مِنْ الْأَجْرِ أَفْضَلُ
“Sekiranya salah seorang dari kalian mengetahui bahwa bila dia ikut shalat berjama’ah denganku maka dia akan mendapatkan pahala yang lebih besar dari seekor kambing yang gemuk atau dua ekor kambing yang gemuk, niscaya dia akan melakukannya. Padahal apa-apa yang diperolehnya dari pahala (tersebut) lebih afdhål baginya.”
(Shåhiih, HR. Ahmad; dishahihkan asy-Syaikh Ahmad Syaakir)
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
‎صَلَاةُ أَحَدِكُمْ فِي جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي سُوقِهِ وَبَيْتِهِ بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
”Shalat seseorang dengan berjamaah lebih berlipat pahalanya 25 derajat daripada shalatnya di rumahnya atau di kedai pasarnya…..”
Kemudian Råsulullåh bersabda:
‎وَذَلِكَ بِأَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ لَا يَنْهَزُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ
“Yang demikian itu karena bila dia berwudhu’ dengan menyempurnakan wudhu’nya lalu menuju ke masjid, yang dia tidak keluar kecuali untuk melaksanakan shalat jamaah, tidak bergerak kecuali untuk shalat (berjama’ah).
‎لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَ بِهَا دَرَجَةً أَوْ حُطَّتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ
Maka tidak ada satu langkahpun dari langkahnya kecuali akan ditinggikan satu derajat baginya atau akan dihapuskan satu kesalahannya.
‎وَالْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ
Dan Malaikat akan mendo’akan salah seorang dari kalian selama dia masih pada tempat shalatnya yang dia dijadikannya sebagai tempat shalatnya, (do’a malaikat tersebut):
‎اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ . اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ
“Ya Allah, berilah shalawat untuknya. Ya Allah, rahmatilah dia, selama dia belum berhadats dan tidak menyakiti orang lain disana “.
Dan Beliau bersabda:
‎أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا كَانَتْ الصَّلَاةُ تَحْبِسُهُ
“Salah seorang diantara kalian sudah dianggap mendirikan shalat, ketika menunggu waktu shalat didirikan”.
(HR.Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
مَنْ تَوَضَّأَ ثُمَّ خَرَجَ يُرِيدُ الصَّلَاةَ فَهُوَ فِي صَلَاةٍ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهِ فَلَا تَقُولُوا هَكَذَا يَعْنِي يُشَبِّكُ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“Barangsiapa berwudlu kemudian keluar untuk melaksanakan shalat, maka ia dalam hitungan shalat hingga ia kembali ke rumahnya. Maka janganlah kalian melakukan demikian, yaitu menjalin jari-jari.”
[HR. Ibnu Khuzaimah no. 439, Al-Haakim 1/206, dan Ad-Daarimi no. 1446; shahih].
Dari Abu Ummamah Al-Hanaath : Bahwasannya Ka’b bin ‘Ujrah bertemu dengannya saat ia hendak pergi ke masjid. Mereka saling bertemu waktu itu. Ka’b melihatku sedang menjalinkan jari-jemariku (tasybik), kemudian ia melarangku dan berkata :
“Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى الْمَسْجِدِ فَلَا يُشَبِّكَنَّ يَدَيْهِ فَإِنَّهُ فِي صَلَاةٍ
‘Apabila salah seorang diantara kalian wudlu, membaguskan wudlunya, kemudian pergi menuju masjid; maka janganlah ia menjalinkan jari-jemarinya (tasybik). Sesungguhnya ia dalam keadaan shalat”
[HR. Abu Dawud no. 562; At-Tirmidzi no. 386; Ahmad 4/241,242, 243; Ibnu Khuzaimah no. 441; Ad-Daarimi no. 1444; dan yang lainnya – shahih].
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam tentang shalat berjamaah:
مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الْأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنْ النِّفَاقِ
“Barangsiapa yang shalat 40 hari ikhlash kepada Allåh secara berjamaah, dan mendapati takbiratul ihram, niscaya ditulis baginya dua pembebasan; pembebasan dari Neraka dan pembebasan dari kemunafikan.”
(HR. At-Tirmidzi, shahih)
3. Keutamaan tetap duduk hingga waktu syuruq dan shalat sunnah syuruq
Shalat isyraq adalah shalat dua raka’at yang dilaksanakan setelah melaksanakan shalat shubuh; lalu ia duduk ditempat ia shalat menunggu waktu syuruq; kemudian shalat isyraq ketika memasuki waktu tersebut. waktu syuruq kira-kira 90 menit setelah adzan shubuh. Silahkan lihat disini jadwal syuruq disini. Maka ketika masuk waktu syuruq berdasarkan jadwalnya, maka KITA TIDAK LANGSUNG SHALAT SUNNAH SYURUQ, karena waktu tersebut adalah waktu DIHARAMKAN UNTUK SHALAT, akan tetapi menunggu kira-kira 15 menit (sebagaimana nanti akan dijelaskan dalam atsar ‘aa-isyah radhiyallahu ‘anha).
Waktu isyraq merupakan AWAL WAKTU DHUHA; sehingga orang yang melaksanakan shalat isyraq berarti ia telah melaksanakan shalat dhuha.
Dari Abdullah bin Al-Harits bin Naufal, bahwa Ibnu Abbas tidak shalat Dhuha. Dia bercerita, lalu aku membawanya menemui Ummu Hani’ dan kukatakan :
“Beritahukan kepadanya apa yang telah engkau beritahukan kepdaku”.
Lalu Ummu Hani berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke rumahku untuk menemuiku pada hari pembebasan kota Mekkah, lalu beliau minta dibawakan air, lalu beliau menuangkan ke dalam mangkuk besar, lalu minta dibawakan selembar kain, kemudian beliau memasangnya sebagai tabir antara diriku dan beliau. Selanjutnya, beliau mandi dan setelah itu beliau menyiramkan ke sudut rumah. Baru kemudian beliau mengerjakan shalat delapan rakaat, yang saat itu adalah waktu Dhuha, berdiri, ruku, sujud, dan duduknya adalah sama, yang saling berdekatan sebagian dengan sebagian yang lainnya”.
Kemudian Ibnu Abbas keluar seraya berkata :
“Aku pernah membaca di antara dua papan, aku tidak pernah mengenal shalat Dhuha kecuali sekarang…

إِنَّا سَخَّرْنَا الْجِبَالَ مَعَهُ يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ

“Artinya : Untuk bertasbih bersamanya (Dawud) di waktu petang dan pagi” [Shaad : 18]
Dan aku pernah bertanya :
“Mana shalat Isyraq ?”
Dan setelah itu dia berkata :
“Itulah shalat Isyraq”
[Hasan Lighairihi; Diriwayatkan oleh Ath-Thabari di dalam Tafsirnya dan Al-Hakim]
Jabir bin Samurah rådhiyallåhu ‘anhu menyifati petunjuk nabi shållallåhu ‘alayhi wa sallam, ia mengatakan:
كان لا يقوم من مصلاه الذي يصلي فيه الصبح أو الغداة حتى تطلع الشمس فىإ ذا طلعت الشمس قام
“Beliau tidak berdiri dari tempat shalatnya -dimana beliau melakukan shalat shubuh- hingga matahari terbit. Jika matahari telah terbit, (maka) beliau berdiri (untuk shalat sunnah isyraq).”
[Shahiih Muslim (I/463) no. 670]
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ
“Barangsiapa yang shalat shubuh dengan berjama’ah kemudian dia berdzikir kepada Allah Ta’ala sampai terbitnya matahari lalu dia shalat dua raka’at, maka pahalanya seperti pahala berhaji dan ‘umrah, sempurna, sempurna, sempurna.”
(HR. At-Tirmidziy no.591 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy di dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy no.480, Al-Misykat no.971 dan Shahih At-Targhiib no.468, lihat juga Shahih Kitab Al-Adzkaar 1/213 karya Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy)
‘Aisyah radhiyallåhu ‘anha berkata:
‎حَتَّى إِذَا كَانَتْ السَّاعَةُ الَّتِي تُكْرَهُ فِيهَا الصَّلَاةُ قَامُوا يُصَلُّونَ
“…(Mereka duduk) hingga waktu yang dilarang untuk shalat telah berlalu, (kemudian) mereka mendirikan shalat”
(AR. Bukhåriy no. 1522; dinukil dari applikasi hadits 9 imam, lidwa pusaka)
Untuk menunggu waktu tersebut, dapat kita gunakan untuk BERDZIKIR PAGI PETANG dan MEMBACA serta MEMPELAJARI al Qur-aan (beserta tafsirnya; spti: tafsir ibn katsir) untuk mendulang lebih banyak keutamaan.
Apa makna “tetap duduk ditempatnya”?
Para ulamaa’ berbeda menjadi tiga pendapat:
Pendapat pertama: Disyaratkan harus tetap duduk ditempat shalatnya
Syaikh Mukhtar As Sinqithi memberikan penjelasan hadis ini, bahwa keutamaan ini hanya dapat diraih jika terpenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
Pertama, Shalat subuh secara berjamaah.
Sehingga tidak tercakup di dalamnya orang yang shalat sendirian. Zhahir kalimat jamaah di hadis ini, mencakup jamaah di masjid, jamaah di perjalanan, atau di rumah bagi yang tidak wajib jamaah di masjid karena udzur.
Kedua, duduk berdzikir.
Jika duduk tertidur, atau ngantuk maka tidak mendapatkan fadlilah ini. Termasuk berdzikir adalah membaca Alquran, beristighfar, membaca buku-buku agama, memebrikan nasihat, diskusi masalah agama, atau amar ma’ruf nahi mungkar.
Ketiga, duduk di tempat shalatnya sampai terbit matahari.
Tidak boleh pindah dari tempat shalatnya, jika dia pindah untuk mengambil mushaf Alquran atau untuk kepentingan lainnya maka tidak mendapatkan keutamaan ini. Karena keutamaan (untuk amalan ini) sangat besar, pahala haji dan umrah “sempurna..sempurna..sempurna” sedangkan maksud (duduk di tempat shalatnya di sini) adalah dalam rangka Ar Ribath (menjaga ikatan satu amal dengan amal yang lain), dan dalam riwayat yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kemudian duduk di tempat shalatnya.” Kalimat ini menunjukkan bahwa dia tidak boleh meninggalkan tempat shalatnya. Dan sekali lagi, untuk mendapatkan fadlilah yang besar ini, orang harus memberikan banyak perhatian dan usaha yang keras, sehingga seorang hamba harus memaksakan dirinya untuk sebisa mungkin menyesuaikan amal ini sebagaimana teks hadis.
Keempat, shalat dua rakaat.
Shalat ini dikenal dengan shalat isyraq. Shalat ini dikerjakan setelah terbitnya matahari setinggi tombak.
(Syarh Zaadul Mustaqni’ oleh Syaikh Syinqithi 3:68)
Pendapat kedua: selama ia tidak meninggalkan masjid yang ia shalat didalamnya
Al Hafidz Ibn Rajab Al Hambali mengatakan,
“Ada perbedaan dalam memahami lafadz ‘..tempat shalatnya..’. Apakah maksudnya itu tempat yang digunakan untuk shalat ataukah masjid yang digunakan untuk shalat?”
kemudian Ibn Rajab membawakan hadis riwayat Muslim yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bangkit dari tempat shalat subuh sampai terbit matahari.
Setelah membawakan dalil ini, Ibn Rajab berkomentar,
“…dan diketahui bersama bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah duduk di tempat yang beliau gunakan untuk shalat. Karena setelah shalat (wajib), beliau berpaling dan menghadapkan wajahnya kepada para sahabat radhiallahu’anhum.”
(Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Ibn Rajab 5:28)
Pendapat ketiga: Tidak ada syarat untuk duduk ditempatnya, atau tetap di masjid; barangsiapa yang terus berdzikir sampai terbit matahari, kemudian shalat (beberapa saat setelahnya), maka ia mendapatkan keutamaan hadits diatas
Mula Ali Al Qori mengatakan,
“…kemudian duduk berdzikir… maksudnya adalah terus-menerus di tempatnya dan masjid (yang dia gunakan untuk shalat jamaah subuh). Hal ini tidaklah (menunjukkan) terlarangnya berdiri untuk melakukan thawaf, belajar, atau mengikuti majlis pengajian, selama masih di dalam masjid. Bahkan andaikan orang itu pulang ke rumahnya sambil terus berdzikir sampai terbit matahari, kemudian shalat dua rakaat, dia masih (mendapatkan fadhilah sebagaimana) dalam hadis ini.”
(Mirqatul Mafatih, 4:57)
Tarjih
Keterangan Mula Ali Al Qori yang memasukkan orang yang pulang ke rumah selama berdzikir ke dalam hadis ini, bisa dianggap kurang tepat. Karena zhahir hadis secara tegas menunjukkan harus duduk berdzikir di dalam masjid.
Sedangkan keterangan Ibn Rajab bolehnya berpindah tempat ketika berdzikir selama masih di dalam masjid lebih mendekati kebenaran. Mengingat tidak adanya persyaratan dalam hadis di atas yang menunjukkan tidak bolehnya bergeser dari tempat yang digunakan untuk shalat.
Akan tetapi, sebagai bentuk kehati-hatian dalam menjaga amal maka ada baiknya jika mengikuti pendapatnya Syaikh As Sinqithy dengan tidak bergeser dari tempat shalatnya. Wallahu a’lam.
(sumber konsultasi syari’ah, oleh Ustadz Ammi Nur Baits)
4. Keutamaan dzikir pagi dan petang
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang dzikir pagi dan petang,

‎ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ‪.‬ وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا‪.‬ هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ‪. ‬ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا

Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, (dengan) dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.
(QS. al-Ahzab: 41-43)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallma bersabda tentang keutamaan orang berdzikir pagi dan petang:
Aku duduk bersama orang-orang yang berdzikir kepada Allah dari mulai shalat shubuh sampai terbit matahari, lebih aku sukai daripada memerdekakan empat orang budak dari anak isma’il. Dan aku duduk bersama orang-orang yang berdzikir kepada Allah dari mulai shalat ‘Ashar sampai terbenam matahari, lebih aku cintai daripada memerdekakan empat orang budak.
(Hasan, HR. Abu Dawud)
Silahkan lihat lebih lanjut tentang dzikir pagi dan petang dan segala keutamaannya disini.
5. Keutamaan orang yang berpagi-pagi ke mesjid untuk membaca dan mempelajari al Qur-aaan
Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda:
غَدْوَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ رَوْحَةٌ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Berpagi hari atau bersore hari fi sabilillah adalah lebih baik daripada dunia seisinya…”
(Bukhariy Muslim)
Sedangkan pergi menuju mesjid, merupakan fii sabilillah.
Uqbah bin Amir Al Juhani berkata,
“Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menemui kami di Shuffah, beliau bersabda:
أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى بُطْحَانَ أَوْ الْعَقِيقِ فَيَأْتِيَ كُلَّ يَوْمٍ بِنَاقَتَيْنِ كَوْمَاوَيْنِ زَهْرَاوَيْنِ فَيَأْخُذَهُمَا فِي غَيْرِ إِثْمٍ وَلَا قَطْعِ رَحِم
“Siapa dari kalian yang menyukai berpagi-bagi berangkat ke Buthhan atau Al Aqiq (nama tempat), lalu setiap harinya datang dengan membawa dua ekor unta yang besar punuknya lagi gemuk, ia ambil unta tersebut tanpa berbuat dosa dan dan memutuskan silaturahmi?”
Uqbah berkata;
“Kami berkata, “Wahai Rasulullah, kami semua menginginkan hal itu”…”
beliau bersabda:
فَلَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيَتَعَلَّمَ آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ نَاقَتَيْنِ وَثَلَاثٌ خَيْرٌ مِنْ ثَلَاثٍ وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ مِنْ أَرْبَعٍ وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنْ الْإِبِلِ
“Sungguh, seorang dari kalian berpagi-pagi berangkat ke Masjid lalu ia mempelajari dua ayat dari Kitabullah (Al Qur’an) adalah lebih baik baginya daripada dua ekor Unta. Dan tiga ayat lebih baik daripada tiga ekor unta serta empat ayat juga lebih baik dari pada empat ekor unta dan dari sejumlah unta.”
[HR. Ahmad, dishahiihkan oleh syaikh al-albaaniy dalam shahiihul jaami']
dalam riwayat Abu Dawud lafazhnya:
فَلَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ كُلَّ يَوْمٍ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيَتَعَلَّمَ آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرٌ لَهُ مِنْ نَاقَتَيْنِ وَإِنْ ثَلَاثٌ فَثَلَاثٌ مِثْلُ أَعْدَادِهِنَّ مِنْ الْإِبِلِ
“Sungguh salah seorang diantara kalian setiap hari datang ke Masjid, mempelajari dua ayat dari Kitab Allah ‘azza wajalla adalah lebih baik baginya daripada dua ekor unta, dua ayat lebih baik daripada tiga unta, seperti bilangan-bilangan unta tersebut.”
[ HR. Abu Dawud (sanadnya shahiih, dishahiihkan oleh syaikh al-albaaniy dalam shahiih abi dawud)]
Allåhu Akbar, Alangkah banyaknya keutamaan yang bisa kita peroleh..
Allåh berfirman,

‎يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ‪ .‬وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS. al-Munafiqun: 9)