1. Keutamaan shalat shubuh
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوداً
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam
dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu
disaksikan (oleh malaikat).”
(QS. Al Isra: 78)
Rasululloh bersabda:
مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ نِصْفِ
لَيْلَةٍ وَمَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ
كَقِيَامِ لَيْلَةٍ
Barangsiapa sholat isya’ di dalam jama’ah, hal itu seperti sholat
setengah malam. Dan barangsiapa sholat isya’ dan subuh di dalam jama’ah,
hal itu seperti sholat semalam suntuk
(HR. Abu Dawud)
Belum lagi ditambah dengan keutamaan shalat qabliyah shubuh, yang dimana Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
“Dua raka’at Shalat Fajr (shalat qabliyah shubuh) lebih baik dari pada dunia dan seisinya.”
[HR. Muslim]
Bukti kelurusan iman seseorang; karena Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam tentang shalat shubuh bersabda:
صَلَاةٌ أَثْقَلَ عَلَى الْمُنَافِقِينَ مِنْ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
“Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik
adalah shalat Isya’ dan Shubuh, jika mereka mengetahui pahalanya,
niscaya mereka mendatanginya kendatipun dengan merangkak.”
(HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya)
Maka tentu, orang yang baik keimanannya; tidak akan merasa berat dengan kedua shalat ini.
2. Keutamaan shalat berjama’ah
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam tentang shalat berjamaah:
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat berjama’ah
LEBIH AFDHAL dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian”
[Muttafaqun 'alayh]
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِنَّ صَلَاةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ
وَحْدَهُ وَصَلَاتُهُ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ
الرَّجُلِ وَمَا كَثُرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى
Sesungguhnya shalat seseorang yang berjamaah dengan satu orang,
adalah lebih baik daripada shalat sendirian. Dan shalatnya bersama dua
orang jamaah, adalah lebih baik daripada shalat bersama seorang jamaah.
Semakin banyak jama’ahnya, maka semakin dicintai oleh Allah Ta’ala.”
(Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat bab Fi
Fadhli Shalatul Jama’ah no.467, An-Nasaa’i dalam sunannya kitab Al
Imamah bab Al jama’ah idza kaana Itsnaini no.834, Ahmad dalam Musnad-nya
no.20312 dan Al Haakim dalam Mustadrak-nya 3/269. Hadits ini
di-shahih-kan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, 2/366-367, no. 1477)
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ يَعْلَمُ أَنَّهُ إِذَا شَهِدَ الصَّلَاةَ
مَعِي كَانَ لَهُ أَعْظَمُ مِنْ شَاةٍ سَمِينَةٍ أَوْ شَاتَيْنِ لَفَعَلَ
فَمَا يُصِيبُ مِنْ الْأَجْرِ أَفْضَلُ
“Sekiranya salah seorang dari kalian mengetahui bahwa bila dia ikut
shalat berjama’ah denganku maka dia akan mendapatkan pahala yang lebih
besar dari seekor kambing yang gemuk atau dua ekor kambing yang gemuk,
niscaya dia akan melakukannya. Padahal apa-apa yang diperolehnya dari
pahala (tersebut) lebih afdhål baginya.”
(Shåhiih, HR. Ahmad; dishahihkan asy-Syaikh Ahmad Syaakir)
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
صَلَاةُ أَحَدِكُمْ فِي جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي سُوقِهِ وَبَيْتِهِ بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
”Shalat seseorang dengan berjamaah lebih berlipat pahalanya 25 derajat daripada shalatnya di rumahnya atau di kedai pasarnya…..”
Kemudian Råsulullåh bersabda:
وَذَلِكَ بِأَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ
أَتَى الْمَسْجِدَ لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ لَا يَنْهَزُهُ إِلَّا
الصَّلَاةُ
“Yang demikian itu karena bila dia berwudhu’ dengan menyempurnakan
wudhu’nya lalu menuju ke masjid, yang dia tidak keluar kecuali untuk
melaksanakan shalat jamaah, tidak bergerak kecuali untuk shalat
(berjama’ah).
لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَ بِهَا دَرَجَةً أَوْ حُطَّتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ
Maka tidak ada satu langkahpun dari langkahnya kecuali akan
ditinggikan satu derajat baginya atau akan dihapuskan satu kesalahannya.
وَالْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ
Dan Malaikat akan mendo’akan salah seorang dari kalian selama dia
masih pada tempat shalatnya yang dia dijadikannya sebagai tempat
shalatnya, (do’a malaikat tersebut):
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ . اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ
“Ya Allah, berilah shalawat untuknya. Ya Allah, rahmatilah dia,
selama dia belum berhadats dan tidak menyakiti orang lain disana “.
Dan Beliau bersabda:
أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا كَانَتْ الصَّلَاةُ تَحْبِسُهُ
“Salah seorang diantara kalian sudah dianggap mendirikan shalat, ketika menunggu waktu shalat didirikan”.
(HR.Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
مَنْ تَوَضَّأَ ثُمَّ خَرَجَ يُرِيدُ الصَّلَاةَ فَهُوَ فِي صَلَاةٍ
حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهِ فَلَا تَقُولُوا هَكَذَا يَعْنِي يُشَبِّكُ
بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“Barangsiapa berwudlu kemudian keluar untuk melaksanakan shalat, maka
ia dalam hitungan shalat hingga ia kembali ke rumahnya. Maka janganlah
kalian melakukan demikian, yaitu menjalin jari-jari.”
[HR. Ibnu Khuzaimah no. 439, Al-Haakim 1/206, dan Ad-Daarimi no. 1446; shahih].
Dari Abu Ummamah Al-Hanaath : Bahwasannya Ka’b bin ‘Ujrah bertemu
dengannya saat ia hendak pergi ke masjid. Mereka saling bertemu waktu
itu. Ka’b melihatku sedang menjalinkan jari-jemariku (tasybik), kemudian
ia melarangku dan berkata :
“Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا
إِلَى الْمَسْجِدِ فَلَا يُشَبِّكَنَّ يَدَيْهِ فَإِنَّهُ فِي صَلَاةٍ
‘Apabila salah seorang diantara kalian wudlu, membaguskan wudlunya,
kemudian pergi menuju masjid; maka janganlah ia menjalinkan
jari-jemarinya (tasybik). Sesungguhnya ia dalam keadaan shalat”
[HR. Abu Dawud no. 562; At-Tirmidzi no. 386; Ahmad 4/241,242, 243;
Ibnu Khuzaimah no. 441; Ad-Daarimi no. 1444; dan yang lainnya – shahih].
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam tentang shalat berjamaah:
مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ
التَّكْبِيرَةَ الْأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنْ
النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنْ النِّفَاقِ
“Barangsiapa yang shalat 40 hari ikhlash kepada Allåh secara
berjamaah, dan mendapati takbiratul ihram, niscaya ditulis baginya dua
pembebasan; pembebasan dari Neraka dan pembebasan dari kemunafikan.”
(HR. At-Tirmidzi, shahih)
3. Keutamaan tetap duduk hingga waktu syuruq dan shalat sunnah syuruq
Shalat isyraq adalah shalat dua raka’at yang dilaksanakan setelah
melaksanakan shalat shubuh; lalu ia duduk ditempat ia shalat menunggu
waktu syuruq; kemudian shalat isyraq ketika memasuki waktu tersebut.
waktu syuruq kira-kira 90 menit setelah adzan shubuh. Silahkan lihat
disini jadwal syuruq
disini.
Maka ketika masuk waktu syuruq berdasarkan jadwalnya, maka KITA TIDAK
LANGSUNG SHALAT SUNNAH SYURUQ, karena waktu tersebut adalah waktu
DIHARAMKAN UNTUK SHALAT, akan tetapi menunggu kira-kira 15 menit
(sebagaimana nanti akan dijelaskan dalam atsar ‘aa-isyah radhiyallahu
‘anha).
Waktu isyraq merupakan AWAL WAKTU DHUHA; sehingga orang yang
melaksanakan shalat isyraq berarti ia telah melaksanakan shalat dhuha.
Dari Abdullah bin Al-Harits bin Naufal, bahwa Ibnu Abbas tidak shalat
Dhuha. Dia bercerita, lalu aku membawanya menemui Ummu Hani’ dan
kukatakan :
“Beritahukan kepadanya apa yang telah engkau beritahukan kepdaku”.
Lalu Ummu Hani berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke rumahku
untuk menemuiku pada hari pembebasan kota Mekkah, lalu beliau minta
dibawakan air, lalu beliau menuangkan ke dalam mangkuk besar, lalu minta
dibawakan selembar kain, kemudian beliau memasangnya sebagai tabir
antara diriku dan beliau. Selanjutnya, beliau mandi dan setelah itu
beliau menyiramkan ke sudut rumah. Baru kemudian beliau mengerjakan
shalat delapan rakaat, yang saat itu adalah waktu Dhuha, berdiri, ruku,
sujud, dan duduknya adalah sama, yang saling berdekatan sebagian dengan
sebagian yang lainnya”.
Kemudian Ibnu Abbas keluar seraya berkata :
“Aku pernah membaca di antara dua papan, aku tidak pernah mengenal shalat Dhuha kecuali sekarang…
إِنَّا سَخَّرْنَا الْجِبَالَ مَعَهُ يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ
“Artinya : Untuk bertasbih bersamanya (Dawud) di waktu petang dan pagi” [Shaad : 18]
Dan aku pernah bertanya :
“Mana shalat Isyraq ?”
Dan setelah itu dia berkata :
“Itulah shalat Isyraq”
[Hasan Lighairihi; Diriwayatkan oleh Ath-Thabari di dalam Tafsirnya dan Al-Hakim]
Jabir bin Samurah rådhiyallåhu ‘anhu menyifati petunjuk nabi shållallåhu ‘alayhi wa sallam, ia mengatakan:
كان لا يقوم من مصلاه الذي يصلي فيه الصبح أو الغداة حتى تطلع الشمس فىإ ذا طلعت الشمس قام
“Beliau tidak berdiri dari tempat shalatnya -dimana beliau melakukan
shalat shubuh- hingga matahari terbit. Jika matahari telah terbit,
(maka) beliau berdiri (untuk shalat sunnah isyraq).”
[Shahiih Muslim (I/463) no. 670]
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ
اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ
كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ
“Barangsiapa yang shalat shubuh dengan berjama’ah kemudian dia
berdzikir kepada Allah Ta’ala sampai terbitnya matahari lalu dia shalat
dua raka’at, maka pahalanya seperti pahala berhaji dan ‘umrah, sempurna,
sempurna, sempurna.”
(HR. At-Tirmidziy no.591 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy di
dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy no.480, Al-Misykat no.971 dan Shahih
At-Targhiib no.468, lihat juga Shahih Kitab Al-Adzkaar 1/213 karya
Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy)
‘Aisyah radhiyallåhu ‘anha berkata:
حَتَّى إِذَا كَانَتْ السَّاعَةُ الَّتِي تُكْرَهُ فِيهَا الصَّلَاةُ قَامُوا يُصَلُّونَ
“…(Mereka duduk) hingga waktu yang dilarang untuk shalat telah berlalu, (kemudian) mereka mendirikan shalat”
(AR. Bukhåriy no. 1522; dinukil dari applikasi hadits 9 imam, lidwa pusaka)
Untuk menunggu waktu tersebut, dapat kita gunakan untuk BERDZIKIR
PAGI PETANG dan MEMBACA serta MEMPELAJARI al Qur-aan (beserta tafsirnya;
spti: tafsir ibn katsir) untuk mendulang lebih banyak keutamaan.
Apa makna “tetap duduk ditempatnya”?
Para ulamaa’ berbeda menjadi tiga pendapat:
Pendapat pertama: Disyaratkan harus tetap duduk ditempat shalatnya
Syaikh Mukhtar As Sinqithi memberikan penjelasan hadis ini, bahwa
keutamaan ini hanya dapat diraih jika terpenuhi beberapa persyaratan
sebagai berikut:
Pertama, Shalat subuh secara berjamaah.
Sehingga tidak tercakup di dalamnya orang yang shalat sendirian.
Zhahir kalimat jamaah di hadis ini, mencakup jamaah di masjid, jamaah di
perjalanan, atau di rumah bagi yang tidak wajib jamaah di masjid karena
udzur.
Kedua, duduk berdzikir.
Jika duduk tertidur, atau ngantuk maka tidak mendapatkan fadlilah
ini. Termasuk berdzikir adalah membaca Alquran, beristighfar, membaca
buku-buku agama, memebrikan nasihat, diskusi masalah agama, atau amar
ma’ruf nahi mungkar.
Ketiga, duduk di tempat shalatnya sampai terbit matahari.
Tidak boleh pindah dari tempat shalatnya, jika dia pindah untuk
mengambil mushaf Alquran atau untuk kepentingan lainnya maka tidak
mendapatkan keutamaan ini. Karena keutamaan (untuk amalan ini) sangat
besar, pahala haji dan umrah “sempurna..sempurna..sempurna” sedangkan
maksud (duduk di tempat shalatnya di sini) adalah dalam rangka Ar Ribath
(menjaga ikatan satu amal dengan amal yang lain), dan dalam riwayat
yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kemudian duduk
di tempat shalatnya.” Kalimat ini menunjukkan bahwa dia tidak boleh
meninggalkan tempat shalatnya. Dan sekali lagi, untuk mendapatkan
fadlilah yang besar ini, orang harus memberikan banyak perhatian dan
usaha yang keras, sehingga seorang hamba harus memaksakan dirinya untuk
sebisa mungkin menyesuaikan amal ini sebagaimana teks hadis.
Keempat, shalat dua rakaat.
Shalat ini dikenal dengan shalat isyraq. Shalat ini dikerjakan setelah terbitnya matahari setinggi tombak.
(Syarh Zaadul Mustaqni’ oleh Syaikh Syinqithi 3:68)
Pendapat kedua: selama ia tidak meninggalkan masjid yang ia shalat didalamnya
Al Hafidz Ibn Rajab Al Hambali mengatakan,
“Ada perbedaan dalam memahami lafadz ‘..tempat shalatnya..’. Apakah
maksudnya itu tempat yang digunakan untuk shalat ataukah masjid yang
digunakan untuk shalat?”
kemudian Ibn Rajab membawakan hadis riwayat Muslim yang menyebutkan
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bangkit dari tempat
shalat subuh sampai terbit matahari.
Setelah membawakan dalil ini, Ibn Rajab berkomentar,
“…dan diketahui bersama bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah duduk di tempat yang beliau gunakan untuk shalat. Karena
setelah shalat (wajib), beliau berpaling dan menghadapkan wajahnya
kepada para sahabat radhiallahu’anhum.”
(Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Ibn Rajab 5:28)
Pendapat ketiga: Tidak ada syarat untuk duduk ditempatnya,
atau tetap di masjid; barangsiapa yang terus berdzikir sampai terbit
matahari, kemudian shalat (beberapa saat setelahnya), maka ia
mendapatkan keutamaan hadits diatas
Mula Ali Al Qori mengatakan,
“…kemudian duduk berdzikir… maksudnya adalah terus-menerus di
tempatnya dan masjid (yang dia gunakan untuk shalat jamaah subuh). Hal
ini tidaklah (menunjukkan) terlarangnya berdiri untuk melakukan thawaf,
belajar, atau mengikuti majlis pengajian, selama masih di dalam masjid.
Bahkan andaikan orang itu pulang ke rumahnya sambil terus berdzikir
sampai terbit matahari, kemudian shalat dua rakaat, dia masih
(mendapatkan fadhilah sebagaimana) dalam hadis ini.”
(Mirqatul Mafatih, 4:57)
Tarjih
Keterangan Mula Ali Al Qori yang memasukkan orang yang pulang ke
rumah selama berdzikir ke dalam hadis ini, bisa dianggap kurang tepat.
Karena zhahir hadis secara tegas menunjukkan harus duduk berdzikir di
dalam masjid.
Sedangkan keterangan Ibn Rajab bolehnya berpindah tempat ketika
berdzikir selama masih di dalam masjid lebih mendekati kebenaran.
Mengingat tidak adanya persyaratan dalam hadis di atas yang menunjukkan
tidak bolehnya bergeser dari tempat yang digunakan untuk shalat.
Akan tetapi, sebagai bentuk kehati-hatian dalam menjaga amal maka ada
baiknya jika mengikuti pendapatnya Syaikh As Sinqithy dengan tidak
bergeser dari tempat shalatnya. Wallahu a’lam.
(sumber
konsultasi syari’ah, oleh Ustadz Ammi Nur Baits)
4. Keutamaan dzikir pagi dan petang
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang dzikir pagi dan petang,
ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا .
وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا. هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ
وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ.
وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا
Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah,
(dengan) dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya
diwaktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan
malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu
dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha
Penyayang kepada orang-orang yang beriman.
(QS. al-Ahzab: 41-43)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallma bersabda tentang keutamaan orang berdzikir pagi dan petang:
Aku duduk bersama orang-orang yang berdzikir kepada Allah dari mulai
shalat shubuh sampai terbit matahari, lebih aku sukai daripada
memerdekakan empat orang budak dari anak isma’il. Dan aku duduk bersama
orang-orang yang berdzikir kepada Allah dari mulai shalat ‘Ashar sampai
terbenam matahari, lebih aku cintai daripada memerdekakan empat orang
budak.
(Hasan, HR. Abu Dawud)
Silahkan lihat lebih lanjut tentang dzikir pagi dan petang dan segala keutamaannya
disini.
5. Keutamaan orang yang berpagi-pagi ke mesjid untuk membaca dan mempelajari al Qur-aaan
Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda:
غَدْوَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ رَوْحَةٌ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Berpagi hari atau bersore hari fi sabilillah adalah lebih baik daripada dunia seisinya…”
(Bukhariy Muslim)
Sedangkan pergi menuju mesjid, merupakan fii sabilillah.
Uqbah bin Amir Al Juhani berkata,
“Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menemui kami di Shuffah, beliau bersabda:
أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى بُطْحَانَ أَوْ الْعَقِيقِ
فَيَأْتِيَ كُلَّ يَوْمٍ بِنَاقَتَيْنِ كَوْمَاوَيْنِ زَهْرَاوَيْنِ
فَيَأْخُذَهُمَا فِي غَيْرِ إِثْمٍ وَلَا قَطْعِ رَحِم
“Siapa dari kalian yang menyukai berpagi-bagi berangkat ke Buthhan
atau Al Aqiq (nama tempat), lalu setiap harinya datang dengan membawa
dua ekor unta yang besar punuknya lagi gemuk, ia ambil unta tersebut
tanpa berbuat dosa dan dan memutuskan silaturahmi?”
Uqbah berkata;
“Kami berkata, “Wahai Rasulullah, kami semua menginginkan hal itu”…”
beliau bersabda:
فَلَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيَتَعَلَّمَ
آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ نَاقَتَيْنِ وَثَلَاثٌ
خَيْرٌ مِنْ ثَلَاثٍ وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ مِنْ أَرْبَعٍ وَمِنْ
أَعْدَادِهِنَّ مِنْ الْإِبِلِ
“Sungguh, seorang dari kalian berpagi-pagi berangkat ke Masjid lalu
ia mempelajari dua ayat dari Kitabullah (Al Qur’an) adalah lebih baik
baginya daripada dua ekor Unta. Dan tiga ayat lebih baik daripada tiga
ekor unta serta empat ayat juga lebih baik dari pada empat ekor unta dan
dari sejumlah unta.”
[HR. Ahmad, dishahiihkan oleh syaikh al-albaaniy dalam shahiihul jaami']
dalam riwayat Abu Dawud lafazhnya:
فَلَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ كُلَّ يَوْمٍ إِلَى الْمَسْجِدِ
فَيَتَعَلَّمَ آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرٌ لَهُ
مِنْ نَاقَتَيْنِ وَإِنْ ثَلَاثٌ فَثَلَاثٌ مِثْلُ أَعْدَادِهِنَّ مِنْ
الْإِبِلِ
“Sungguh salah seorang diantara kalian setiap hari datang ke Masjid,
mempelajari dua ayat dari Kitab Allah ‘azza wajalla adalah lebih baik
baginya daripada dua ekor unta, dua ayat lebih baik daripada tiga unta,
seperti bilangan-bilangan unta tersebut.”
[ HR. Abu Dawud (sanadnya shahiih, dishahiihkan oleh syaikh al-albaaniy dalam shahiih abi dawud)]
Allåhu Akbar, Alangkah banyaknya keutamaan yang bisa kita peroleh..
Allåh berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا
أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ .وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ
فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan
kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka
itulah orang-orang yang merugi. (QS. al-Munafiqun: 9)