Entri Populer

Jumat, 27 Juli 2012

Memaknai Puasa Oleh Muhammad Choirin* IKADI Ramadhan adalah sebuah madrasah imaniah bagi kaum Muslimin. Sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, puasa adalah sebuah media yang harus menghasilkan ketakwaan. (QS al-Baqarah [2]: 183). Orang yang berpuasa secara benar akan menjadi pribadi-pribadi muttaqin. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ Minimal ada lima kaidah untuk mengoptimalkan makna puasa bagi kehidupan Muslim. Pertama, puasa hendaklah didasari atas keimanan (amanu). Allah SWT menggunakan ungkapan ya ayyuhallazina amanu. Hal ini menuntut agar kedatangan Ramadhan disambut dengan keimanan. Iman merupakan satu-satunya energi yang dapat membentuk sikap dan karakter seseorang. Dengan iman, seseorang akan mampu bersabar untuk menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa. Inilah rahasia hadis Nabi Muhammad SAW. Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan atas dasar keimanan dan mengharap rida Allah maka ia akan diberikan ampunan dosa yang telah lalu. Kedua, puasa harus menjadi karakter dalam diri seorang Muslim (kutiba). Allah SWT menggunakan istilah kutiba (ditulis) bukan furidha atau ujiba. Dalam beberapa kamus bahasa Arab, kata ini sering diartikan dengan al-naqsyu `alal hijarah (mengukir di atas batu). Hal ini menunjukkan bahwa puasa menghasilkan sikap dan karakter yang pasti, seperti disiplin, patuh pada aturan, amanah, dan sungguh-sunguh dalam menjalani ketaatan syariat Allah SWT. Ketiga, mampu menahan diri. Kata kunci dari ibadah puasa adalah menahan diri, hal ini karena secara bahasa, puasa bermakna al-imsak (menahan diri). Siapa pun yang berpuasa ia harus menjadi pribadi yang dapat menjaga diri. Orang-orang sukses adalah orang yang dapat menahan diri dari sifat marah, arogan, egois, dan lain-lain. Jika menjadi orang kaya, ia dapat menahan diri untuk tidak sombong. Jika miskin, ia dapat menahan diri untuk tidak tamak. Keempat, mampu mengambil pelajaran dari orang lain. Puasa yang diwajibkan kepada umat Islam ini bukan ibadah baru, melainkan ibadah yang sangat lama dan tua, kama kutiba `alallazina min qablikum (sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu). Salah satu hikmah didatangkan ungkapan ini adalah untuk menyentuh psikologi kaum Muslimin untuk tidak merasa sendirian dalam beribadah. Inilah rahasia mengapa puasa pada bdi


Memaknai Puasa
Oleh Muhammad Choirin*
IKADI

Ramadhan adalah sebuah madrasah imaniah bagi kaum Muslimin. Sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, puasa adalah sebuah media yang harus menghasilkan ketakwaan. (QS al-Baqarah [2]: 183). Orang yang berpuasa secara benar akan menjadi pribadi-pribadi muttaqin.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
                         
Minimal ada lima kaidah untuk mengoptimalkan makna puasa bagi kehidupan Muslim.
 

Pertama, puasa hendaklah didasari atas keimanan (amanu). Allah SWT menggunakan ungkapan ya ayyuhallazina amanu. Hal ini menuntut agar kedatangan Ramadhan disambut dengan keimanan. Iman merupakan satu-satunya energi yang dapat membentuk sikap dan karakter seseorang. Dengan iman, seseorang akan mampu bersabar untuk menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa. Inilah rahasia hadis Nabi Muhammad SAW. Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan atas dasar keimanan dan mengharap rida Allah maka ia akan diberikan ampunan dosa yang telah lalu.

Kedua, puasa harus menjadi karakter dalam diri seorang Muslim (kutiba). Allah SWT menggunakan istilah kutiba (ditulis) bukan furidha atau ujiba. Dalam beberapa kamus bahasa Arab, kata ini sering diartikan dengan al-naqsyu `alal hijarah (mengukir di atas batu). Hal ini menunjukkan bahwa puasa menghasilkan sikap dan karakter yang pasti, seperti disiplin, patuh pada aturan, amanah, dan sungguh-sunguh dalam menjalani ketaatan syariat Allah SWT.

Ketiga, mampu menahan diri. Kata kunci dari ibadah puasa adalah menahan diri, hal ini karena secara bahasa, puasa bermakna al-imsak (menahan diri). Siapa pun yang berpuasa ia harus menjadi pribadi yang dapat menjaga diri. Orang-orang sukses adalah orang yang dapat menahan diri dari sifat marah, arogan, egois, dan lain-lain. Jika menjadi orang kaya, ia dapat menahan diri untuk tidak sombong. Jika miskin, ia dapat menahan diri untuk tidak tamak.

Keempat, mampu mengambil pelajaran dari orang lain. Puasa yang diwajibkan kepada umat Islam ini bukan ibadah baru, melainkan ibadah yang sangat lama dan tua, kama kutiba `alallazina min qablikum (sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu). Salah satu hikmah didatangkan ungkapan ini adalah untuk menyentuh psikologi kaum Muslimin untuk tidak merasa sendirian dalam beribadah. Inilah rahasia mengapa puasa pada bulan Ramadhan lebih ringan dibanding melaksanakan puasa sunah di luar bulan Ramadhan.

Kelima, puasa harus diproyeksikan untuk membuahkan ketakwaan. Sebab itu, kaum Muslimin wajib melaksanakan berbagai ketaatan yang dapat menghasilkan ketakwaan. Standar puasa yang sukses dan menghasilkan ketakwaan adalah pola dan frekuensi ibadah setelah Ramadhan yang jauh lebih meningkat.

Kelima tips tersebut menjadikan puasa akan menghasilkan karakter dan men-sibghah kehidupan seorang Muslim seusai bulan Ramadhan.[]

*REPUBLIKA (24/7/12) Rubrik Tausihyah kerja sama antara Republika dan Ikatan Dai Indonesia (Ikadi)

Boleh Tahajud/Qiyamullail Sesudah Tarawih dan Witir 

Oleh Abdullah Haidir, Lc
PIP PKS Arab Saudi

 Pendapat jumhur ulama, dan ini yang lebih kuat, bahwa orang yang sudah shalat witir di awal malam, tidak ada halangan baginya untuk shalat malam lagi di akhir malam jika dia ingin melakukannya.


Karena terdapat riwayat bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan shalat dua raat setelah shalat witir (HR. Tirmizi, Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh Al-Albany).

Sejumlah ulama, Imam Nawawi di antaranya, menyatakan bahwa perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam ini untuk menunjukkan kebolehan shalat malam setelah shalat Witir.

Dia tidak perlu shalat witir lagi apabila sudah shalat witir sebelumnya. Karena sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ

"Tidak ada dua witir dalam satu malam." (HR. Abu Daud, Tirmizi, dll).

Adapun hadits,

اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا

"Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari dengan shalat Witir," (muttafaq alaih)

dipahami para ulama sebagai hanya sebagai anjuran untuk menjadikan shalat witir sebagai akhir shalat malam. Atau ada juga yang memahami bahwa shalat witir hendaknya didahului oleh shalat-shalat yang genap, karena sebelumnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berbicara, bahwa shalat malam itu dua rakaat.

Intinya adalah bahwa dalam hadits tersebut tidak terdapat larangan untuk shalat malam lagi setelah shalat witir.

Karena itu, bagi yang shalat berjamaah Taraweh, sebaiknya dia ikut shalat bersama imam hingga selesai, termasuk shalat witir bersama imam. Kalaupun di akhir malam dia ingin shalat lagi, dia dapat melakukannya tanpa mengulangi lagi shalat witirnya. Karena shalat bersama imam hingga selesai, dianjurkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan dianggap sebagai shalat malam secara sempurna.

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

"Sesungguhnya siapa yang shalat (taraweh) bersama imam hingga selesai, akan dicatat baginya qiyamullail secara sempurna." (HR. Tirmizi dan Nasa'i)

Disamping hal tersebut lebih mendatangkan kesatuan dan keutuhan di antara jamaah masjid.

Wallahua'lam.